Jumat, 31 Desember 2010

Mengurai Keterisolasian : Puluhan Tahun Akhirnya Tembus Mobil

MENGURAI KETERISOLASI. Selama lima tahun terus bergotong royong membuat jalan tembus keibukota desa. Akhirnya Bulan Nopember 2010, mimpi itu terwujud, hasil bumi masyarakat Patallassang sudah dapat diangkut dengan mobil, bukan lagi tenaga manusia seperti yang sudah terjadi puluhan tahun silam.
Makassar, (KBSC).
Kalau mau bertanya kapan Indonesia Merdeka pada warga Patallassang, Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, mungkin hanya beberapa orang yang tahu, atau paling tidak hanya kalangan anak-anak muda yang pernah “makan bangku” sekolahan.   Pertanyaan ini sedikit ironis, karena sejak berpuluh tahun mulai kira-kira masih sejak zaman Pemerintahan Puangta ri Pao (kerajaan), hingga masa pemerintahan Desa Pao, Drs. Najamuddin, dampak dari sebuah kemerdekaan baru 2 – 5 tahun terakhir ini dia rasakan.   Salah satu nikmat kemerdekaan yang paling dirasakan oleh warga dusun tersebut, adalah untuk pertama kalinya ada sebuah mobil yang masuk ke desanya, padahal antara ibukota desa dengan dusun tersebut paling banter 10-an Km.   Mobil merek land cruiser dengan doble garden ini adalah bertujuan untuk mengangkut hasil-hasil bumi Patallassang untuk dijual di pasar ibukota kecamatan. “Kami seperti bermimpi di siang hari bolong, saya tidak pernah menyangka bahwa hidupnya saya yang mulai uzur ini masih dapat melihat mobil yang masuk ke kampung ini,” kata Ketua RK Jahi-Jahia Dusun Patallassang, Jufri B.  Lima tahun sebelum mobil ini masuk mengangkut sayur-sayuran, warga dusun ini setiap hari sabtu mengadakan gotong royong perintisan jalan.  “Awalnya ketika untuk pertama kali gotong royong yang membuat jalan ini, tidak ada masyarakat yang bersemangat, saya sendiri pun ragu akan manfaat jalan ini yang diperuntukkan untuk kendaraan,” lanjut Abd.Jabar, Kepala Dusun Patallassang.   Menurutnya, pekerjaan ini hampir niat yang sia-sia, karena kalau dilihat medan atau countur alamnya tidak masuk akal kalau mobil bisa masuk. “Meski dirasakan pekerjaan yang sia-sia, anehnya warga tidak pernah putus asa untuk membangun jalan, menggali kaki-kaki gunung yang melingkar-lingkar ini hingga tembus di ibukota desa,” lanjutnya.  Dan tanpa pernah diduga sama sekali, pada Bulan September 2010 lalu, Kades Pao dan Kadus Patalassang tiba-tiba meminta masyarakat untuk melakukan pertemuan di tingkat desa, yaitu tempatnya di rumah Kepala RK Borong Parring, (salah satu RK di Dusun Patalassang, red).   “Pak RK kaget setengah mati, seumur-umur hidupnya tidak pernah ada pertemuan di rumahnya, atau paling tidak di dusun ini, tapi karena perintahnya Pak Desa Najamuddin tidak dapat dibantah, akhirnya pertemuan tersebut diselenggarakan. Saya sendiri bersama para tetua-tetua masyarakat, tidak tahu apa maksud pertemuan tersebut,” katanya.   Setelah hari H-nya, datanglah rombongan yang terdiri atas 3 orang, yaitu Manajer Program “Perencanaan Partisipatif” dari Yayasan WaKIL Kabupaten Gowa, Fasilitator Pendukung Muhammad Ardi Londong, dan Muklis Kaur Pembangunan Desa Pao yang juga bertindak sebagai kader-kader pemberdayaan masyarakat, dan disambut oleh KPM perempuan Desa Pao, yaitu Muriarti dan Nurlinda.  “Kami sama-sama mengantar ke rumahnya RK Borong Parring. Disini, setelah berkumpul sekitar 100-an lebih. Tak lama kemudian, protokol mengatakan maksud dna tujuan kedatangannya, yaitu untuk diskusi masyarakat dengan program PKM (peringkat kesejahteraan masyarakat). Untuk mengetahui sejauhmana tingkat kesejahteraan, atau kemiskinan masyarakat setempat.   Anehnya, syarat menjadi peserta haruslah dominan perempuan, kaum miskin, kaum muda dan masyarakat termarginal. “Syarat ini terpenuhi, malah terlampaui, karena sangat banyak peserta yang hadir tidak pernah mengikuti pertemuan sebelumnya, mendengar saja kantor desa, mereka sangat “ketakutan”,’ jelas Mukhlis, aparat Desa Pao.  Menurut Mukhlis, dari diskusi dan pertemuan-pertemuan selanjutnya semakin lancar, malah kemudian tumbuh lagi semangat masyarakat untuk menggalakkan kembali gotong royong yang sedikit ‘loyo’ itu. “Itulah gunanya namanya perencanaan, yang selama berpuluh tahun ini terlupakan, karena direncanakan bersama-sama, akhirnya banyak gagasan yang muncul, yang kemudian dijalankan secara bersama,” urainya.   Muklis menilai, kekayaan lokal masyarakat adalah ketika mereka sudah bersepakat atau berjanji, maka hampir 100 persen dilaksanakan, karena aib bagi mereka jika ingkar, atau biasanya akan terkena bala, malah akan mendapat sanksi sosial.   “Sanksi sosial itu diterapkan oleh masyarakat sendiri, tanpa ada yang mengatur, tanpa dikomandoi dari desa. Contoh, jika seseorang melakukan kenduri, hajatan, pesta, dan lainnya, tamu-tamu yang datang hanya sedikit saja, atau makanannya banyak yang basi karena kurang orang yang mau datang untuk makan, maka itu sudah termasuk sanksi sosial,” kata Kades Pao, Drs.Najamuddin.  Menurut Najamuddin, saksi seperti ini tidak diatur dalam peraturan desa, tapi merupakan undang-undang yang tidak tertulis. “Hal ini inklud-lah dengan program dari Yayasan WaKIL – ACCESS ini, saya sudah lama menunggu program seperti ini, saya sendiri sedikit bosan melulu bicara proyek-proyek tapi kurang bermanfaat bagi masyarakat desa secara keseluruhan,” tambahnya.   Untuk itu, lanjutnya, apa yang telah digagas oleh kawan-kawan LSM ini, kami kewajiban pemerintah desalah yang harus melanjutkan, menjaga, dan terus mengembangkannya. “Saya mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman dari ACCESS,” kunci Kepala Desa Pao, Drs.Najamuddin. (sultan darampa)

Rabu, 29 Desember 2010

Sukses Lestarikan Hutan, Cukup Pandangi Saja

Bukti masyarakat mampu melestarikan hutan kini datang lagi dari Dusun Palulung dan Dusun Sapiriborong, Desa Balasuka, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Masyarakat atas nama kelompok tani hutan, telah sukses melestarikan hutan seluas 250 hektar, ditambah 5 hektar hutan adat, dan mempertahankannya dari pembalakan liar hingga kini, sekitar 15 tahun lamanya sampai masa siap tebang.

Makassar, (KBSC).
Kawasan hutan yang tidak produktif lagi karena pemanfaatan kayunya oleh masyarakat sekitar 1960-an, masih zaman kekaraengan, telah mengakibatkan ekosistem hutan ini gundul, dan kelihatannya hanya kelompok-kelompok hutan sabana.

Kemudian sejak 1997, berbagai program pemerintah masuk ke kecamatan itu, akhirnya atas adanya program padat karya dengan penanaman pohon untuk masyarakat, maka beramai-ramailah masyarakat menanam pohon tersebut.

Tetapi program ini gagal, masyarakat menjadikannya sebagai kawasan pengembalaan. Kalau ada pohon yang mulai tumbuh, akhirnya mati juga diinjak hewan ternak. Setelah berkembang coklat, cengkeh, kopi atau tanaman perkebunan akhirnya masyarakat ramai-ramai menanam tanaman tersebut. Sayangnya tanaman ini banyak juga yang gagal.

Maka atas prakarsa salah seorang tokoh masyarakat setempat, Bapak Konde (sudah almahrum), mempelopori penanaman dan penghijauan kembali, tentu dengan dipandu oleh Dinas Kehutanan, sehingga lahirlah namanya “sentra penyuluh kehutanan pedesaan = SPKD”, dan setelah berjalan sekian lama.

Proses pendampingannya juga tidak efektif, akhirnya kerja-kerja kelompok juga tidak maksimal, dan untungnya tanaman tersebut masih terus tumbuh dan berkembang, akhirnya masyarakat menyadari bahwa kayu yang telah ditanam lebih 10 tahun terus memang milikinya, karena ditanam dan tumbuh diatas tanah rincik mereka.

Peran Ketua Kelompok SPKD,  Pak Kombe, dengan gagasan tetap melestarikan hutan tersebut, akhirnya telah membuahkan hasil, meski Pak Kombe sendiri tidak sempat lagi menikmatinya, karena telah meninggal dunia sebelum kayu tersebut layak untuk ditebang.

Saat ini, hutan yang telah memulihkan ekosistemnya, termasuk menjadi kantong cadangan air telah sangat berguna bagi kawasan sekitarnya, termasuk kawasan pertanian yang ada disekelilingnya.

Namun pertanyaan masyarakat, atau kelompok bahwa apakah itu hanya puasa kalau hutan yang hijau kembali itu kita nikmati atau pandang terus saja, tanpa dapat dimanfaatkan kayunya.

“Kami maunya menebang, tapi kami larang anggota kelompok kami menebang, karena jangan sampai setelah disenso, tiba-tiba dapat petugas kehutanan menangkap kami walaupun kami menebang diatas tanah rincik kami,” ujar ketua Kelompok Hasbi.

Hal yang sama juga diakui, tokoh masyarakat Palulung, Petta Huseng, kalau status kepemilikan tanah pada hutan yang telah kami lestarikan jelas itu adalah hak-hak masyarakat, bukti-bukti hukum jelas, selain rincik, juga bukti pembayaran pajak setiap tahunnya.

Tapi yang membuat masyarakat raguragu berbuat, adalah pengesahan dan pengakuan dari pemerintah setempat, utamanya Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa. “Jangan sampai kami dalam dusun-dusun ini ditangkapi, dianggap sebagai pencuri kayu. Kenapa, karena seringkali kami melihat tanaman yang tumbuh dan ditanam dihalaman rumah warga ketika mau ditebang, dianggap itu kawasan hutan lindung, dan akhirnya mereka disel atau dikurung. Kami tidak mengalami seperti itu,” kata Petta Huseng.

Ia meminta, agar Pemerintah Kabupaten Gowa atau Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, utamanya Dinas Kehutanan, datang melihat lokasi tersebut, dan mencocokkan dengan peta kehutanan, sehingga masyarakat setempat selain mampu melestarikan hutan, juga mereka dapat menikmati pohonnya yang dianggap sudah layak untuk ditebang.

“Soal penebangan jangan ragu, kami dalam kelompok tani hutan ini punya aturan-aturan tersendiri, dan terbukti sampai saat ini tidak yang berhasil melanggar aturan adat tersebut,” pinta Petta Huseng.

Kalau tidak percaya, lanjutnya, lihat saja langsung, sekian puluh tahun, tidak ada bekas-bekas penebangan, karena memang masyarakat atau anggota kelompok kami dilarang keras menebang kayu. “Kalau hanya datang melihat dan menyaksikannya dari jauh, lalu kami semua puas melihat itu, jelas kami tidak melarang, karena selama ini hanya itu yang dapat kami lakukan,” katanya menyendir.(sultan darampa)

Selasa, 21 Desember 2010

Meneropong Gerakan Tani : PAO BANGUN SEKOLAH TANI

Makassar, (KBSC).
Entah roh apa yang merasuki kawan-kawan petani yang berdiam di perbatasan Gowa, Bone dan Sinjai, pada dataran tinggi Bawakaraeng, karena tiba-tiba menjadi “insaf” akan pentingnya membangun solidaritas dan persatuan atas nama para petani dataran tinggi.

Hal ini dapat dibuktikan pada pengorganisasian diri dan atas inisiatif mereka sendiri untuk minta difasilitasi membangun organisasi rakyat di pedusunan di Desa Pao, Desa Ta’binjai, Desa Terasa, Desa Balasuka, Desa Bolaromang, dll.

Olehnya itu, manajemen Yayasan WaKIL (Kabupaten Gowa), Yayasan Sulawesi Channel, telah melakukan pengorganisasian rakyat, misalnya training-training petani, seperti kelompok tani hutan, kelompok tani lahan basah, dan kelompok tani ternak pada desa-desa tersebut diatas.

Direktur Yayasan WaKIL, Kaharuddin Muji kepada wartawan Kantor Berita Sulawesi Channel mengatakan, penguatan organisasi ini memang murni dari masyarakat, atau petani-petani yang tersebar di beberapa dusun di dataran tinggi Bawakaraeng, dan Yayasan WaKIL sebelumnya melalui program “perencanaan partisipatif” telah mengembangkan kerangka program tersebut kearah yang lebih luas.

“13 orang fasilitator pendukung, atau tenaga fasilitator yang ditempatkan Yayasan WaKIL pada 14 kecamatan di Kabupaten Gowa telah dibekali kemampuan (trainner) untuk mendorong tumbuh dan kuatnya organisasi rakyat di daerah-daerah.

Menurutnya, untuk saat ini silahkan kawan-kawan petani  berkreasi, Yayasan WaKIL akan mensupport kebutuhan teman-teman petani.

Sementara itu, Kepala Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Drs Najamuddin sehari sebelum berangkat ke Jawa Timur mengungkapkan, pihak pemerintah desa telah menyiapkan beberapa infrastruktur untuk membangun mimpi-mimpi petani, yaitu sebuah kompleks belajar para petani di dataran tinggi.

“Kami telah menyiapkan lahan beberapa hektar, sarana bangunan yang terbuat dari bamboo, ijuk, dan beberapa bahan-bahan dari sumber daya alam setempat, telah disiapkan anggota kelompok tani Pattallassang,” kata mantan Panglima Massa Kecamatan Tombolo Pao.

Menurutnya, organisasi tani tidak usah merasa khawatir akan kebutuhan organsiasinya, pihaknya bersedia membantu semaksimal mungkin. (sultand darampa)