Selasa, 16 Februari 2010

Lokakarya Hasil PAK - WaKIL

Sungguminasa (KBSC)
Penyusunan agenda kabupaten (PAK) Gowa untuk perencanaan partisipatif oleh calon mitra langsung ACCESS dari Yayasan Wahana Kesehatan dan Lingkungan Lestari (WaKIL) diwujudkan dalam lokakarya PAK di Aula Kantor Bappeda Kabupaten Gowa, Kota Sungguminasa, Selasa (9/1) kemarin.

Dra.Hj.Ratna Arasy yang mewakili Koordinator Propinsi ACCESS-AusAID mengatakan, kegiatan yang difasilitasi WaKIL ini adalah bagaimana keterlibatan atau partisipasi penuh warga dalam setiap upaya proses-proses pembangunan di daerah ini.

“Ini bukan program WaKIL, tapi ini adalah program kita semua, utamanya bagi masyarakat penerima dampak. WaKIL hanya dalam posisi sebagai fasilitasi,” kata Ratna Arasy. Ia menambahkan, WaKIL telah melakakukan beberapa tahapan dalam penjajakan, dimana aksi penjajakan ini adalah langkah awal untuk bermitra dengan ACCESS, tapi sampai saat ini belum ada kemitraan (MoU) antara ACCESS dengan WaKIL

Disisi lain, menurut Hj Ratna, bagi ACCESS sangat mengingingkan keterlibatan perempuan dan kaum miskin, serta warga terpinggirkan. Karena nilai-nilai yang akan diperjuangkan ACCESS dalam phase II lebih pada pendekatan GSI (gender social inclusive).

Karena dalam perjalanan programnya ACCESS, utamanya pada phase I, kelihatannya perempuan sangat mampu, cuma memang selama ini ruang-ruangnya masih cenderung terbatasi , olehnya itu maka pada phase II, ACCESS lebih cenderung mendorong perempuan, kaum miskin dan terpinggirkan sebagai penerima dampak utama program.


Lanjutannya, adalah lokakarya di tingkat kabupaten, di Gowa ada 6 mitra ACCESS. Kenapa ada 6 calon mitra ACCESS, katanya, karena ke-6 ini adalah hasil PAK Gowa. Diantara ke 6 issu itu, salah satu diantaranya adalah tata kelola local democratic (TKLD), dan agenda inilah yang kemudian ditarik dalam agenda kawan-kawan.

“Jadi sekali lagi, kami atas nama pelaksana program ACCESS di Sulsel mengucapkan banyak terima kasih kepada pemerintah Kabupaten Gowa atas fasilitasi dan kebijakannya sehingga program ACCESS dapat diterima di daerah ini,” kunci Ratna Arasy yang mewakili Sartono (Koordinator Propinsi Sulsel ACCESS).

Sementara itu, Ketua Bappeda Gowa, H.Baharuddin Matting menambahkan,  mendengar penurutan Wakil dan ACCESS Sulsel, pihak tidak ingin berbicara tentang teori, karena terlalu banyak teori pemberdayaan, tapi baginya, ia lebih ingin melihat fakta di masyararakat dan perangkat pemerintahan, dan fakta itu dapat ditemukan di ACCESS dan WaKIL

“Saya tertarik karena ACCESS ini tidak ada hentinya kegiatan pemberdayaan, apalagi kali ini rencananya bermitra dengan WaKIL, sementara WaKIL sendiri kita sudah yakin sudah bertahun-tahun bekerja pada aspek pemberdayaan di masyarakat desa,” katanya.

Dia mengatakan, Pemerintah Kabupaten Gowa melalui Bappeda, menyatakan siap bekerja bersama-sama di dalam pemberdayaan masyarakat desa, termasuk didalam pengelolaan pemerintahan desa, seperti menggagas perencanaan secara partipatif.
Menurutnya, selama bertahun-tahun proses-proses perencanaan di desa tidak berjalan dengan baik. Banyak kasus-kasus penyusunan rencana pembangunan di desa, seperti musrembang desa dan kecamatan hanya disusun oleh aparat desa, atau hanya kepala desa, dengan cara mengatasnamakan atas usulan dari warga.

“Agenda-agenda pembangunan desa melalui hasil-hasil musrembang itu hanya isi kepalanya kepala desa, dan ketika kades ditanya mana daftar hasil musrembang, sang kades kebingungan menjawab atau memperlihatkan dafta isian prioritas usulan rencana pembangunannya, karena memang faktanya tidak ada daftar isian itu,” tegasnya.

“Malah yang membuat saya heran, kenapa ada anggota DPRD yang memasukkan agenda-agenda pembangunan di desa, kenapa ada anggota DPRD yang memasukkan proyek atau program dari APBD, padahal semestinya kerja-kerja DPRD hanyalah pembahasan kebijakan, misalnya pengesahan atau hanya sebatas legislasi,” katanya.

Yang lebih mengherankan lagi, kenapa ada kontraktor yang merasa dia mengusulkan atau memasukkan agenda-agenda pembangunan di desa. “Kalau para kontraktor sudah berani mengatakan bahwa dia yang memasukkan agenda proyek di APBD, maka dimana posisi dan peran Bappeda sebagai institusi perencana,” tegasnya.   

Tapi ketika pihaknya sudah memegang Bappeda, maka proses perencanaan sudah harus dirancang dari bawah, harus berdasarkan hasil-hasil rapat dari dusun, kemudian desa lalu ke kecamatan, yang kemudian ditingkat kabupaten dirangkum oleh Bappeda.

 Jadi saat ini tidak ada lagi pihak-pihak yang mengatasnamakan bahwa pihaknya yang membuat agenda-agenda pembangunan yang kemudian disahkan dalam APBD. Malah saat ini pula, anggota DRPD dari daerah pemilihan kecamatan tertentu, harus ikut hadir dalam musyawarah musrembang.

Sehingga ketika pembahasan hasil-hasil musrembang di DPRD, maka sang anggota DPRD tersebut sudah jelas dan pahami dari cerita latarbelakang program yang diusulkan, sehingga usulan yang disahkan olehDPRD itu bukan daftar keinginan kelompok-kelompok orang tertentu, tetapi memang merupakan kebutuhan bersama oleh masyarakat atau komunitas yang mengusulkannya.

Dilain pihak, Direktur WaKIL, Kaharuddin Muji menambahkan, harapan dari kawan-kawan di WaKIL adalah bagaimana inisiatif  perencanaan partisipatif dengan menggunakan metode atau tols outcome mapping dan CLAPP (community led action planning proses) ini dapat diterapkan pada proses-proses penguatan kapasitas di masyarakat.

“Kami telah mempersiapkan beberap prasyarat pelaksanaan program perencanaan partisipatif ini, diantaranya kesiapan tenaga fasilitator di 18 kecamatan,” tegasnya. Ia menambahkan, dari 18 fasilitator ini terdapat 10 orang adalah fasilitator perempuan, selebihnya (8) orang adalah laki-laki.

Langkah ini adalah wujud keseriusan WaKIL dalam implementasi GSI dan TKLD dalam menjalankan program ini di Kabupaten. (s.darampa)

Pelatihan Outcome Mapping Gowa - Takalar

Makassar, (KBSC)
Setelah ACCESS-AusAid melakukan implementasi program di Kabupaten Bantaeng dan Jeneponto, maka kini ACCESS akan melebarkan programnya di dua kabupaten tambahan, yakni Kabupaten Gowa dan Takalar Sulawesi Selatan.

Sebelum implementasi program beberapa tahapan yang harus dilalui oleh calon mitra langsung ACCESS diantaranya adalah orientasi outcome mapping. OM ini adalah salah satu metode learning bagi masyarakat atau komunitas.

Lanjutan training OM ini adalah penjajakan, dan bagi LSM atau calon mitra langsung ACCESS di dua kabupaten tersebut diberi waktu sekitar satu bulan, selama Januari 2010, untuk melakukan penjajakan, atau training need assessment sesuai isu atau tematik yang diusung oleh 11 LSM dari dua kabupaten tersebut.

Koordinator Propinsi (Koordprop) ACCESS Sulawesi Selatan, Sartono, yang akrab dipanggil Pak De, mengungkapkan, orientasi OM ini adalah keharusan bagi calon-calon mitra ACCESS. Karena tools ini memuat berbagai metodologi yang berorientasi partisipatif.

“ACCESS telah mensyaratkan GSI (gender social inclusive) dan TKLD (tata kelola local demokratif) sebagai prinsip-prinsip dalam mendorong berbagai isu-isu program di masyarakat. Misalnya setip proses yang dilaksanakan secara kuantitas harus meanstreaming gender 50 : 50,” kata Pak De.

Menurutnya, 50 : 50 (perbandingan prosentase 50 persen perempuan dan 50 persen laki-laki) adalah upaya nyata untuk mendorong secara aktiv perempuan-perempuan dalam berbagai profesi dan level ikut terlibat secara langsung.

Tetapi yang lebih penting dari prosentase 50 : 50, adalah bagaimana perempuan, orang-orang miskin dan kaum terpinggirkan, merupakan actor utama dalam setiap proses atau aktivitas yang berjalan. “Jadi intinya bukan saja mereka terlibat secara fisik, tetapi jauh lebih diimpikan adalah terjadi perubahan perilaku positif bagi perempuan, orang-orang miskin dan kelompok terpinggirkan,”  ungkapnya.

Diakuinya, selama ini, perempuan diposisikan sekadar pelengkap dari setiap isu-isu strategi dan perencanaan-perencanaan pembangunan yang dilaksanakan.  “Jadi melalui program ini, maka ACCESS memiliki tanggungjawab moral untuk pemberdayaan perempuan lebih nyata,”  sambungnya.

ACCESS – AusAID di Sulsel diperkuat sejumlah fasilitator, selain Sartono, Juju, Ratna Arasy, Sari,  dan beberapa personil admin.

Panakaing, Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Air

Panaikang (KBSC)
Panaikang adalah pedusunan yang terletak diatas ketinggian jazirah Bawakaraeng dan Lompobattang.  Disamping kanan puncaknya, adalah muara daerah aliran sungai Jeneberang, dan disisi kirinya adalah anak sungai Manappa. 

Komunitas Panaikang yang dipimpin oleh Kepala Lingkungan Sulaeman menceritakan, Panakaing dapat diartikan adalah tempat untuk dinaiki, atau disebut tempat yang ketinggian yang dapat dicapai dengan pendakian.

Pedusunan ini dihuni pertama kali oleh penduduk pada tahun awal 1900-an. Sebelumnya. para nenek moyang orang-orang Panaikang mendiami lembah yang dinamai Parangkeke. Parangkeke dapat diartikan sebuah lembah yang terdiri atas padang rumput, dengan dikeliling tebing gunung. Arti harifiahnya yaitu digali.

Parangkeke yang terdiri atas padang rumput dijadikan sebagai tempat pengembalaan hewan ternak oleh penduduk setempat. Entah pada tahun berapa, tiba-tiba Parangkeke dijadikan sebagai tempat pemukiman atau kampung. Dari sinilah kemudian para penduduk kemudian naik ke Panaikang, yang selanjutnya dijadikan tempat tinggal sampai sekarang.

Masih menurut Sulaeman, pada tahun 1965, Kampung ini ditinggalkan penduduk, karena terjadi pemberontakan PKI, dimana orang-orang PKI itu membakar rumah-rumah penduduk sampai ludes. Penduduk mengungsi ke Malino. Namun tidak cukup setahun mengungsi, atau menyingkir sementara, mereka kembali ke Panaikang dengan membangun kembali kampung mereka, awalnya terpaksa membangun rumah-rumah penduduk dengan tiang dan dinding dari bambu.

Padang waktu itu, untuk mengatur tata pemerintahan lokal di Panaikang, maka orang tua Sulaeman ditunjuk sebagai ketua Sariang. Sariang dapat diartikan sebagai Ketua RT. Kewenangan Sariang ini diperluas menjadi kampung sehingga dia dipanggil sebagai kepala kampung.

Sesudah itu, kemudian digantikan oleh anaknya, saudara kandung tertua dari Sulaeman, dan baru pada tahun 1978, barulah Sulaeman menjabat sebagai kepala lingkungan menggantikan kakaknya. Lingkungan Panaikang membawahi dua rukun warga, yaitu RK Pattiro dan RK Panaikang.

Selama memimpin (Kepala) Lingkungan, Sulaeman yang lebih akrab dipanggil Pa’li itu telah melakukan sejumlah program dan pembentukan kelompok, diantaranya :

1. Kelompok Komunitas Sabo Panaikang DAS Jeneberang
2. Kelompok Tani Hutan Lestari Panaikang
3. Kelompok Julu Ero

Kelompok Komunitas Sabo Panaikang
Kelompok  ini khusus menangani program warning system. Program ini adalah peringatan bencana dini, seperti mengamati pergerakan tanah longsor yang ada di Lengkese. Jika tanah ini bergerak maka dengan otomatis, oleh petugas jaga posko, langsung memberikan apa-apa, biasanya menggunakan katto-katto atau menggunakan HT (handy talky) kepada posko-posko di bawahnya, atau kepada masyarakat yang ada dibantaran sungai agar waspada terhadap pergerakan longsor ini.

Program ini sangat efektif untuk memberi peringatan kepada masyarakat, agar menghindari sungai jika sewaktu-waktu tanah / longsor yang bergerak ke bawah mengikuti arus sungai. Program ini didampingi oleh Yayasan WaKIL dengan bantuan pendanaan dari JICA.

Kelompok Hutan Lestari Panaikang
Kelompok ini membina sedikitnya 6 sub kelompok yang lebih kecil, yaitu Parangkulo, Bangkeng Sijang, Tobanda, Batumete, Bontotene dan satu kelompok lagi yang terlupa namanya.
Kelompok ini telah melakukan reboisasi atau menghijauan di Ramma. Kawasan Ramma awal mulanya hamparan padang rumput, karena memang kawasan ini areal pengembalaan, atau pelepasan hewan-hewan ternak masyarakat seusai membajak sawah.

Tapi karena  desakan untuk penghijauan, maka Ramma dijadikan lokasi penanaman berbagai jenis tanaman kayu, seperti kayu putih, balang jawa. Tanaman ini sudah berumur sekitar 6 tahun, dengan prosentase pertumbuhan sampai 80 persen. Hal ini terjadi karena kawasan ini dijaga oleh seorang pemantau hutan yang setiap harinya menjaga ekosistem hutan tersebut.

Salah satu tugas dari pemantau hutan Ramma adalah menjaga kayu yang baru ditanam ini dari gangguan hewan ternak, sapi, dan memperbaiki atau merawat tanaman ini jika terinjak sapi, dll. Program ini oleh Dinas Kehutanan.

Kemudian setahun yang lalu, yakni 2008, ada program baru dari JICA – Jepang, sebanyak 20.000 bibit Akasia ditanam di lokasi seluas 45 hektar. Namun sayang, program ini dianggap gagal, dengan beberapa alasan : (1) tanaman akasia tetap tumbuh tapi tidak bisa menjadi besar, karena setiap pucuk selalu dimakan hewan ternak, (2) tanaman akasia ini tidak berdampak kepada masyarakat, utamanya dampak ekonomi, karena pada waktu pengusulan, masyarakat atau kelompok minta tanaman kehutanan tapi dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat, misalnya tanaman kemiri.  

Selain itu, kelompok tani juga tengah mempersiapkan rehablitasi hutan di Kawasan Talung, dengan luas 100 hektar. Dengan 6 sub kelompok, atau kelompok kecil ini, maka Talung ke depan dapat dijadikan areal kawasan hutan rakyat.

100 hektar ini diprioritaskan tanaman kehutanan sebesar 70 persen, sedangkan 30 persen sisinya adalah tanaman perkebunan jangka panjang, seperti markisa, kakao dll.  Sebelumnya, Talung juga telah menjadi lokasi Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GNRHL) sebanyak 40.000 pohon, namun gagal semua. 

Kelompok Tani Julu Ero
Kelompok tani ini beranggotakan 25 orang, dengan tujuan yakni agroforestry, yaitu mengutamakan tanaman-tanaman perkebunan, atau tanaman kehutanan tapi menghasilkan buah. Misalnya, markisa, kopi, cengkeh, atau tanaman perdu yakni rumput gajah untuk pakan hewan ternak para petani.

Rata-rata setiap anggota kelompok memiliki luas lahan antara 0,5 – 1 hektar. Tanaman ini sudah tumbuh diatas bekas longsoran dengan umur sekitar satu tahun. Menurut keterangan petani, bahwa luas lahan yang tertimbun longsor yang masuk dalam wilayah Lingkungan Panaikang adalah , sawah 17 hektar, kebun 30 hektar, dimana longsor ini juga telah menelan sekitar 52 ekor sapi milik masyarakat Panaikang.

Demikianlah kondisi kehidupan sehari-hari komunitas Panaikang. Komunitas yang setiap harinya hidup diketinggian dengan hawa pegunungan yang mencekam. Rumah-rumah penduduk berselimut kabut, dengan warganya sehari-hari menoropong sungai, sawah-sawah dan perkebunan mereka ratusan meter dari ketinggian. Tiada hari tanpa memandang bumi. (teks : adi, foto-foto : sc publishing)

Limbua, Sekolah Rakyat Organic Farming

Sunggimnasa, (KBSC)
Komunitas Sabo Limbua terletak di Desa Salu Toa, Kecamatan Parigi, yang terletak di Bantaran DAS Jeneberang. Jumlah anggota kelompok ini adalah sekitar 80 orang, atau sebanyak 45 kepala keluarga atau rumah. Di Kampung ini setiap rumah hanya diisi oleh satu kepala keluarga, kecuali bagi orang-orang tua mereka, misalnya nenek atau kakeknya, sehingga tidak dapat dihitung sebagai satu kepala keluarga.

Lingkungan mereka yang terletak di pinggiran sungai, luas perkebunan mereka sekitar 2 Km panjangnya yang merupakan tingkat kemiringan nyaris tegak, sementara luas persawahan mereka sekitar 150 hektar, yang membujur dari timur ke barat.

Anggota kelompok tani ini mengandalkan hidupnya dari pertanian, sawah lahan basah, dengan model irigasi tradisional. Artinya, sistem irigasinya yakni dari pembuatan saluran oleh masyarakat sendiri dengan cara menggali pinggiran sungai Jeneberang. Selokan buatan yang selalu berobah-obah setiap kali terjadi banjir ini, dibuat berdasarkan kelender bertani mereka, bahkan ada ritual-ritual sebelum mereka mengerjakan persawahannya.

Selain kebun dan sawah, mereka juga mengembangkan sistem pertanian, yakni rata-rata setiap kepala keluarga memiliki minimal 2 sampai 7 ekor sapi, dan kambing yang merupakan hak kelola kelompok sebanyak 10 ekor. Hewan-hewan ternak ini juga mengandalkan air minumnya langsung dari sungai Jeneberang.

Menurut Sekretaris Kelompok, Bapak Bakri, selama memegang pengurus kelompok, ia telah melakukan pemetaan bagi kampung itu, termasuk studi PRA, sehingga kelompok sudah memilik data-data kampung seperti yang disebut diatas.

“Dalam memanfaatkan air sungai Jeneberang, kami betul-betul swadaya, dulu ada keinganan dari pihak kontraktor pertambangan untuk membantu kampung kami, tapi nyatanya sampai keluar dari penambangan galian C yang berupa pasir dan batu tidak pernah merealisasikan janjinya, sehingga kami menutup setiap upaya atau rencana tambang,” jelas Bakri.

Ia menambahkan, didalam memanfaatkan langsung air DAS Jeneberang dengan cara swakelola, maka masyarakat dengan arahan kelompok terlebih dahulu melakukan ritual-ritual, seperti :

Ammua Ulu Salungan : Sebelum mengerjakan sawah, terlebih dahulu mereka bergotong royong mencari sudut-sudut pinggiran sungai yang cocok untuk digalikan saluran sehingga air ini dapat masuk ke persawahan mereka. Terkadang setiap tahunnya panjang-pendeknya saluran yang dibuat tergantung dari posisi pinggiran sungai dengan volume air yang tinggi. Karena irigasi ini masih sifatnya swakelola, maka masyarakat setiap tahunnya selalu memperbaikinya, atau membuatnya yang baru, karena setiap saat saluran itu hilang akibat disapuh banjir longsoran lumpur dan batu. 

Ajjuru-juru : Yaitu upacara ritual dilakukan ketika padi mulai memperlihatkan buah, batang-batang padi mulai hamil

Apparimbua : Yaitu ketika petani memulai hari pertamanya membajak. Semua petani di Kampung Limbua membajak sawahnya dengan menggunakan sapi secara gotong royong. Mereka dilarang menggunakan traktor atau alat bajak canggih lainnya.

Pesta Panen : Yaitu dilakukan setelah selesai mengambil padinya di sawah, artinya pesta ini dilakukan ketika tidak ada lagi batang-batang padi yang berdiri di sawah.

Masyarakat masih mempertahankan beberapa padi lokal, seperti parelompoa atau pare 8, pare pulu’ (padi ini ada hitam dan putih). Cirinya, batang padi lebih tinggi dari ‘pada modern’, dan ketika dipanen masih menggunakan anai-anai, dan setelah tiba di rumah sengaja di simpan dalam waktu yang lama. Ketika dibutuhkan, padi ini ditumbuk dengan alu / lesung, mereka sengaja tidak mau membawanya ke pabrik padi, karena dinilai tidak enak dimakan.

Ketika dimasak padi ini harum dan gurih, kenyal, Harganya pun di pasar cukup tinggi di pasar lokal, yaitu :

Parelompoa        : Rp 4.500 perliter
Beras biasa / pertanian    : Rp 3.000 perliter.

Juga keistimewaan padi katto ini (ketika dipanen pakai anai-anai), bukan di dros (cara panen modern sekarang), sehingga nampak berbedaan ketika sudah dimasak (dalam panji) :

Ketika dimasak parelompa        : 1 liter
Berbanding padi biasa ketika dimasak    : 1,5 liter

Selain dengan sistem pertanian yang masih tradisional, masyarakat Limbua juga sudah mulai kembali menggunakan pupuk kompos. Saat ini melalui Yayasan WaKIL, mereka mendirikan pabrik pupuk kompos dengan bahan baku dari batang jerami, sehingga musim-musim sawah mendatang sudah mulai menggunakan pupuk buatan sendiri ini. Dan berdasarkan hasil uji coba, hasil panen mereka tidak berbeda nilai produksinya dengan menggunakan pupuk anorganik (buatau pabrikan besar) dengan pupuk kompos, sehingga lambat laun mereka sudah mulai menerapkan pertanian organik.

Disamping itu, masyarakat atau kelompok juga tengah merencanakan budidaya belut, yang dilakukan selama ini baru pada sistem mina padi, yaitu memilihara ikan (ikan emas) di areal persawahan mereka ketika padi mulai tumbuh dan dipanen ikan itu sebelum panen padi. Namun untuk bubidaya belut, baru pada tahap percobaan, karena mereka belum mengerti betul sistem budidayanya, utamanya pasarnya.

Tetapi yang mengkhawatirkan kelompok ini adalah ancaman banjir lumpur dan batu yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan persawahan mereka. Disamping itu, mereka belum memiliki sistem saluran irigasi yang permanen, karena biaya saluran ini diluar jangkauan pendapatan petani, karena membutuhkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. (teks : s.darampa, foto-foto :SCPublishing)