Jumat, 30 Juli 2010

Sekolah Alam bagi Wisatawan di Malino


Malino, (KBSC)
Pembangunan kampung wisata yang digagas aktivis lingkungan Edi Hariadi tergolong unik dan lebih khusus sebagai upaya nyata di dalam kelestarian lingkungan, sekaligus membangkitkan kepariwisataan yang lagi lesu.

Kampung wisata yang terletak di Dusun Katiklaporan, Kelurahan Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa itu, memiliki luas sekitar 20 hektar, dengan fasilitas 20 rumah penginapan turis (milik penduduk lokal), ekosistem hutan dan sejumlah fasilitas fisik lainnya.

Sekedar diketahui, bahwa pembangunan Kampung Wisata selain diinisiasi oleh Edi Hariadi dan kawan-kawan, investornya datang dari masyarakat sendiri, yaitu masyarakat yang memiliki rumah di kawasan tersebut

Sejumlah fasilitas lain, diantaranya :
1. Outbound pendidikan (flaying fox, pelibatan orang kampung dalam pelatihan penangungalangan bencana, mahasiswa praktekan tentang teknik penamggilangan bencana)
2. Pendidikan lingkungan (ana-anak mengenal alam, mereka tinggal di rumah-rumah penduduk, dan penduduk menjadi orang tua angkat untuk melihat kondisi ekosistem lingkungan sehari-hari, misalnya bagaimana hubungan social kemasyarakatan yang terjadi di kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Makassar).
3.Beberapa jenis tanaman kehutanan, seperti ekosistem hutan pinus, tanaman akar tunggang dl, juga model perkebunan hortikultura.
4. Membangun balai pertemuan dan lesehan untuk aktivitas wisata. Balai ini untuk dialog, pertemuan, pelatihan in class, termasuk diantaranya adalah dialog pendidikan lingkungan .
5. Empang dua tingkat 5 x 10 meter persegi dan 10 x 10 meter persegi (dipinggir empang dibuatkan lesehan) 22 gasebo dan lesehan yang dimiliki oleh masing-masing 22 kepala keluarga. Itu kontrak ekonomi dengan masyarakat. 
6. Kolam permandian. Kolam ini juga dikerja oleh masyarakat dan difasilitasi oleh masyarakat, sehingga kontribusinya juga diatur oleh manajemen kampung ini. 
7. Sumber air. Berupa anak sungai dari DAS Jeneberang (dimana di hulu anak sungai ini telah dilakukan konservasi. sehingga cadangan sumber air baku di masa akan datang tidak bakalan terganggu.

Beberapa syarat-syarat tamu turis untuk dapat menggunakan kampung ini, yaitu  :
1. Menanaman pohon minimal 1 pohon sebelum tinggal di rumah tersebut. Nama pohon tersebut diberi nama sesuai dengan nama orang yang menanam. Jadi, sewaktu-waktu mereka dapat datang melihat pohon tersebut. Soal biaya perawatan, maka dapat dititip biaya rawat untuk menjadi milik pribadi, dan dana titipan ini akan dikelola oleh manajemen kampung. Misalnya selama 1 tahun, biaya titipnya 10.000. Tujuannya, upaya untuk pendidikan sadar lingkungan. Jadi bagaimana orang punya kecintaan lingkungan itu tumbuh dalam diri seseorang.
Pertannyaannya, bagaimana kalau pohon itu mati, maka siempunya dapat mengganti dengan pohon baru tanpa dapat dialihkan kepemilikan ke orang lain.
2. Block Grand. Dana ini berasal dari swadaya masyarakat. Sumber dana ini  adalah dana titip perawatan pohon, misalnya jika arus kunjungan turis (manca dan domestic) mencapai 100 orang dalam satu tahun, maka dapat diprediksi bahwa sudah ada 100 pohon tanaman baru yang ada dalam kawasan tersebut. 100 pohon tersebut dikalikan Rp 10.000 perpohon sebagai  biaya perawatan, maka total dana investasi yang masuk sudah ada Rp 1 juta. Kemudian pendapatan lain, seperti biaya penginapan, makan, penggunaan lesehan dan royalty, maka jika itu dikumpulkan, akan menghasilkan pendapatan yang lumayan. Pendapatan ini diakumulasikan dalam bentuk investasi, untuk kemudian pengembangan dan penambahan sarana.    
3. ID card pohon. ID ini menjadi simbolik bagi seseorang untuk mengkampanyekan go green dimana ia berada. Misalnya, jika berada di suatu negara, maka ia dapat memperlihatkan ID card ini bahwa di Indonesia ia memiliki pohon untuk tujuan misi pengurangai emisi karbon.

Pendidikan Anak Sekolahan
Sejumlah lembaga pendidikan telah melakukan MoU kerjasama dengan pengelola Kampung Wisata ini, diantaranya adalah Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Mega Resky Makassar. STIKES menilai bahwa kegiatan pendidikan out class ini adalah bagian dari kurikulumnya.
    Misalnya, selama 6 bulan, mahasiswa STIKES belajar in class di kampusnya, lalu 6 bulan berikutnya modul teori tersebut dipraktekkan melalui pengalaman belajar lapangan. Jadi out classnya adalah di Kampung Wisata.
    “Sebenarnya salah output pendidikan out class ini adalah solusi alternative dari program Ospek yang selama ini berbau kekerasan. STIKES memandang, Ospek tetap dilaksanakan, tetapi cara dan starategisnya jauh berbeda, pengenalan alam bagi mahasiswa jauh lebih baik dari metode Ospek yang selama ini dikembangkan oleh kampus-kampus,” ujar Pipit, nama beken Edi Hariadi.
    Selain tingkat mahasiswa, kampung wisata ini juga diperuntukkan untuk kalangan anak-anak sekolahan SMP, SD dan SMU. Tujuannya, bagaimana anak sekolahan ini selain mengenal ekosistem alam, juga dapat melihat aktivitas sehari-hari masyarakat kampung, misalnya bagaimana ia melihat masyarakat memelihara pohon aren, mengambil tuak, lalu diolah untuk menghasilkan gula aren.
    “Jadi seluruh proses pembuatan gula aren dapat disaksikan dan dipelajari oleh siswa outbound langsung dari praktek lapangan. Dan praktek lapang inilah yang berkontibusi besar terhadap pengalaman belajar bagi anak-anak ke depan,” kunci Pipit. (sultan darampa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar