Jumat, 31 Desember 2010

Mengurai Keterisolasian : Puluhan Tahun Akhirnya Tembus Mobil

MENGURAI KETERISOLASI. Selama lima tahun terus bergotong royong membuat jalan tembus keibukota desa. Akhirnya Bulan Nopember 2010, mimpi itu terwujud, hasil bumi masyarakat Patallassang sudah dapat diangkut dengan mobil, bukan lagi tenaga manusia seperti yang sudah terjadi puluhan tahun silam.
Makassar, (KBSC).
Kalau mau bertanya kapan Indonesia Merdeka pada warga Patallassang, Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, mungkin hanya beberapa orang yang tahu, atau paling tidak hanya kalangan anak-anak muda yang pernah “makan bangku” sekolahan.   Pertanyaan ini sedikit ironis, karena sejak berpuluh tahun mulai kira-kira masih sejak zaman Pemerintahan Puangta ri Pao (kerajaan), hingga masa pemerintahan Desa Pao, Drs. Najamuddin, dampak dari sebuah kemerdekaan baru 2 – 5 tahun terakhir ini dia rasakan.   Salah satu nikmat kemerdekaan yang paling dirasakan oleh warga dusun tersebut, adalah untuk pertama kalinya ada sebuah mobil yang masuk ke desanya, padahal antara ibukota desa dengan dusun tersebut paling banter 10-an Km.   Mobil merek land cruiser dengan doble garden ini adalah bertujuan untuk mengangkut hasil-hasil bumi Patallassang untuk dijual di pasar ibukota kecamatan. “Kami seperti bermimpi di siang hari bolong, saya tidak pernah menyangka bahwa hidupnya saya yang mulai uzur ini masih dapat melihat mobil yang masuk ke kampung ini,” kata Ketua RK Jahi-Jahia Dusun Patallassang, Jufri B.  Lima tahun sebelum mobil ini masuk mengangkut sayur-sayuran, warga dusun ini setiap hari sabtu mengadakan gotong royong perintisan jalan.  “Awalnya ketika untuk pertama kali gotong royong yang membuat jalan ini, tidak ada masyarakat yang bersemangat, saya sendiri pun ragu akan manfaat jalan ini yang diperuntukkan untuk kendaraan,” lanjut Abd.Jabar, Kepala Dusun Patallassang.   Menurutnya, pekerjaan ini hampir niat yang sia-sia, karena kalau dilihat medan atau countur alamnya tidak masuk akal kalau mobil bisa masuk. “Meski dirasakan pekerjaan yang sia-sia, anehnya warga tidak pernah putus asa untuk membangun jalan, menggali kaki-kaki gunung yang melingkar-lingkar ini hingga tembus di ibukota desa,” lanjutnya.  Dan tanpa pernah diduga sama sekali, pada Bulan September 2010 lalu, Kades Pao dan Kadus Patalassang tiba-tiba meminta masyarakat untuk melakukan pertemuan di tingkat desa, yaitu tempatnya di rumah Kepala RK Borong Parring, (salah satu RK di Dusun Patalassang, red).   “Pak RK kaget setengah mati, seumur-umur hidupnya tidak pernah ada pertemuan di rumahnya, atau paling tidak di dusun ini, tapi karena perintahnya Pak Desa Najamuddin tidak dapat dibantah, akhirnya pertemuan tersebut diselenggarakan. Saya sendiri bersama para tetua-tetua masyarakat, tidak tahu apa maksud pertemuan tersebut,” katanya.   Setelah hari H-nya, datanglah rombongan yang terdiri atas 3 orang, yaitu Manajer Program “Perencanaan Partisipatif” dari Yayasan WaKIL Kabupaten Gowa, Fasilitator Pendukung Muhammad Ardi Londong, dan Muklis Kaur Pembangunan Desa Pao yang juga bertindak sebagai kader-kader pemberdayaan masyarakat, dan disambut oleh KPM perempuan Desa Pao, yaitu Muriarti dan Nurlinda.  “Kami sama-sama mengantar ke rumahnya RK Borong Parring. Disini, setelah berkumpul sekitar 100-an lebih. Tak lama kemudian, protokol mengatakan maksud dna tujuan kedatangannya, yaitu untuk diskusi masyarakat dengan program PKM (peringkat kesejahteraan masyarakat). Untuk mengetahui sejauhmana tingkat kesejahteraan, atau kemiskinan masyarakat setempat.   Anehnya, syarat menjadi peserta haruslah dominan perempuan, kaum miskin, kaum muda dan masyarakat termarginal. “Syarat ini terpenuhi, malah terlampaui, karena sangat banyak peserta yang hadir tidak pernah mengikuti pertemuan sebelumnya, mendengar saja kantor desa, mereka sangat “ketakutan”,’ jelas Mukhlis, aparat Desa Pao.  Menurut Mukhlis, dari diskusi dan pertemuan-pertemuan selanjutnya semakin lancar, malah kemudian tumbuh lagi semangat masyarakat untuk menggalakkan kembali gotong royong yang sedikit ‘loyo’ itu. “Itulah gunanya namanya perencanaan, yang selama berpuluh tahun ini terlupakan, karena direncanakan bersama-sama, akhirnya banyak gagasan yang muncul, yang kemudian dijalankan secara bersama,” urainya.   Muklis menilai, kekayaan lokal masyarakat adalah ketika mereka sudah bersepakat atau berjanji, maka hampir 100 persen dilaksanakan, karena aib bagi mereka jika ingkar, atau biasanya akan terkena bala, malah akan mendapat sanksi sosial.   “Sanksi sosial itu diterapkan oleh masyarakat sendiri, tanpa ada yang mengatur, tanpa dikomandoi dari desa. Contoh, jika seseorang melakukan kenduri, hajatan, pesta, dan lainnya, tamu-tamu yang datang hanya sedikit saja, atau makanannya banyak yang basi karena kurang orang yang mau datang untuk makan, maka itu sudah termasuk sanksi sosial,” kata Kades Pao, Drs.Najamuddin.  Menurut Najamuddin, saksi seperti ini tidak diatur dalam peraturan desa, tapi merupakan undang-undang yang tidak tertulis. “Hal ini inklud-lah dengan program dari Yayasan WaKIL – ACCESS ini, saya sudah lama menunggu program seperti ini, saya sendiri sedikit bosan melulu bicara proyek-proyek tapi kurang bermanfaat bagi masyarakat desa secara keseluruhan,” tambahnya.   Untuk itu, lanjutnya, apa yang telah digagas oleh kawan-kawan LSM ini, kami kewajiban pemerintah desalah yang harus melanjutkan, menjaga, dan terus mengembangkannya. “Saya mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman dari ACCESS,” kunci Kepala Desa Pao, Drs.Najamuddin. (sultan darampa)

Rabu, 29 Desember 2010

Sukses Lestarikan Hutan, Cukup Pandangi Saja

Bukti masyarakat mampu melestarikan hutan kini datang lagi dari Dusun Palulung dan Dusun Sapiriborong, Desa Balasuka, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Masyarakat atas nama kelompok tani hutan, telah sukses melestarikan hutan seluas 250 hektar, ditambah 5 hektar hutan adat, dan mempertahankannya dari pembalakan liar hingga kini, sekitar 15 tahun lamanya sampai masa siap tebang.

Makassar, (KBSC).
Kawasan hutan yang tidak produktif lagi karena pemanfaatan kayunya oleh masyarakat sekitar 1960-an, masih zaman kekaraengan, telah mengakibatkan ekosistem hutan ini gundul, dan kelihatannya hanya kelompok-kelompok hutan sabana.

Kemudian sejak 1997, berbagai program pemerintah masuk ke kecamatan itu, akhirnya atas adanya program padat karya dengan penanaman pohon untuk masyarakat, maka beramai-ramailah masyarakat menanam pohon tersebut.

Tetapi program ini gagal, masyarakat menjadikannya sebagai kawasan pengembalaan. Kalau ada pohon yang mulai tumbuh, akhirnya mati juga diinjak hewan ternak. Setelah berkembang coklat, cengkeh, kopi atau tanaman perkebunan akhirnya masyarakat ramai-ramai menanam tanaman tersebut. Sayangnya tanaman ini banyak juga yang gagal.

Maka atas prakarsa salah seorang tokoh masyarakat setempat, Bapak Konde (sudah almahrum), mempelopori penanaman dan penghijauan kembali, tentu dengan dipandu oleh Dinas Kehutanan, sehingga lahirlah namanya “sentra penyuluh kehutanan pedesaan = SPKD”, dan setelah berjalan sekian lama.

Proses pendampingannya juga tidak efektif, akhirnya kerja-kerja kelompok juga tidak maksimal, dan untungnya tanaman tersebut masih terus tumbuh dan berkembang, akhirnya masyarakat menyadari bahwa kayu yang telah ditanam lebih 10 tahun terus memang milikinya, karena ditanam dan tumbuh diatas tanah rincik mereka.

Peran Ketua Kelompok SPKD,  Pak Kombe, dengan gagasan tetap melestarikan hutan tersebut, akhirnya telah membuahkan hasil, meski Pak Kombe sendiri tidak sempat lagi menikmatinya, karena telah meninggal dunia sebelum kayu tersebut layak untuk ditebang.

Saat ini, hutan yang telah memulihkan ekosistemnya, termasuk menjadi kantong cadangan air telah sangat berguna bagi kawasan sekitarnya, termasuk kawasan pertanian yang ada disekelilingnya.

Namun pertanyaan masyarakat, atau kelompok bahwa apakah itu hanya puasa kalau hutan yang hijau kembali itu kita nikmati atau pandang terus saja, tanpa dapat dimanfaatkan kayunya.

“Kami maunya menebang, tapi kami larang anggota kelompok kami menebang, karena jangan sampai setelah disenso, tiba-tiba dapat petugas kehutanan menangkap kami walaupun kami menebang diatas tanah rincik kami,” ujar ketua Kelompok Hasbi.

Hal yang sama juga diakui, tokoh masyarakat Palulung, Petta Huseng, kalau status kepemilikan tanah pada hutan yang telah kami lestarikan jelas itu adalah hak-hak masyarakat, bukti-bukti hukum jelas, selain rincik, juga bukti pembayaran pajak setiap tahunnya.

Tapi yang membuat masyarakat raguragu berbuat, adalah pengesahan dan pengakuan dari pemerintah setempat, utamanya Dinas Kehutanan Kabupaten Gowa. “Jangan sampai kami dalam dusun-dusun ini ditangkapi, dianggap sebagai pencuri kayu. Kenapa, karena seringkali kami melihat tanaman yang tumbuh dan ditanam dihalaman rumah warga ketika mau ditebang, dianggap itu kawasan hutan lindung, dan akhirnya mereka disel atau dikurung. Kami tidak mengalami seperti itu,” kata Petta Huseng.

Ia meminta, agar Pemerintah Kabupaten Gowa atau Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, utamanya Dinas Kehutanan, datang melihat lokasi tersebut, dan mencocokkan dengan peta kehutanan, sehingga masyarakat setempat selain mampu melestarikan hutan, juga mereka dapat menikmati pohonnya yang dianggap sudah layak untuk ditebang.

“Soal penebangan jangan ragu, kami dalam kelompok tani hutan ini punya aturan-aturan tersendiri, dan terbukti sampai saat ini tidak yang berhasil melanggar aturan adat tersebut,” pinta Petta Huseng.

Kalau tidak percaya, lanjutnya, lihat saja langsung, sekian puluh tahun, tidak ada bekas-bekas penebangan, karena memang masyarakat atau anggota kelompok kami dilarang keras menebang kayu. “Kalau hanya datang melihat dan menyaksikannya dari jauh, lalu kami semua puas melihat itu, jelas kami tidak melarang, karena selama ini hanya itu yang dapat kami lakukan,” katanya menyendir.(sultan darampa)

Selasa, 21 Desember 2010

Meneropong Gerakan Tani : PAO BANGUN SEKOLAH TANI

Makassar, (KBSC).
Entah roh apa yang merasuki kawan-kawan petani yang berdiam di perbatasan Gowa, Bone dan Sinjai, pada dataran tinggi Bawakaraeng, karena tiba-tiba menjadi “insaf” akan pentingnya membangun solidaritas dan persatuan atas nama para petani dataran tinggi.

Hal ini dapat dibuktikan pada pengorganisasian diri dan atas inisiatif mereka sendiri untuk minta difasilitasi membangun organisasi rakyat di pedusunan di Desa Pao, Desa Ta’binjai, Desa Terasa, Desa Balasuka, Desa Bolaromang, dll.

Olehnya itu, manajemen Yayasan WaKIL (Kabupaten Gowa), Yayasan Sulawesi Channel, telah melakukan pengorganisasian rakyat, misalnya training-training petani, seperti kelompok tani hutan, kelompok tani lahan basah, dan kelompok tani ternak pada desa-desa tersebut diatas.

Direktur Yayasan WaKIL, Kaharuddin Muji kepada wartawan Kantor Berita Sulawesi Channel mengatakan, penguatan organisasi ini memang murni dari masyarakat, atau petani-petani yang tersebar di beberapa dusun di dataran tinggi Bawakaraeng, dan Yayasan WaKIL sebelumnya melalui program “perencanaan partisipatif” telah mengembangkan kerangka program tersebut kearah yang lebih luas.

“13 orang fasilitator pendukung, atau tenaga fasilitator yang ditempatkan Yayasan WaKIL pada 14 kecamatan di Kabupaten Gowa telah dibekali kemampuan (trainner) untuk mendorong tumbuh dan kuatnya organisasi rakyat di daerah-daerah.

Menurutnya, untuk saat ini silahkan kawan-kawan petani  berkreasi, Yayasan WaKIL akan mensupport kebutuhan teman-teman petani.

Sementara itu, Kepala Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Drs Najamuddin sehari sebelum berangkat ke Jawa Timur mengungkapkan, pihak pemerintah desa telah menyiapkan beberapa infrastruktur untuk membangun mimpi-mimpi petani, yaitu sebuah kompleks belajar para petani di dataran tinggi.

“Kami telah menyiapkan lahan beberapa hektar, sarana bangunan yang terbuat dari bamboo, ijuk, dan beberapa bahan-bahan dari sumber daya alam setempat, telah disiapkan anggota kelompok tani Pattallassang,” kata mantan Panglima Massa Kecamatan Tombolo Pao.

Menurutnya, organisasi tani tidak usah merasa khawatir akan kebutuhan organsiasinya, pihaknya bersedia membantu semaksimal mungkin. (sultand darampa)

Senin, 29 November 2010

WaKIL Training Perencanaan 3 Angkatan



Alur skema perencanaan yang diterapkan di Yayasan WaKIL. Alur ini dilengkapi juga satu skema khusus fasilitasinya.

Makassar, (KBSC)
Yayasan WaKIL atas dukungan ACCESS – AusAID telah melakukan training perencanaan yang meliputi 26 desa se-Kabupaten Gowa. Training yang terdiri atas tiga angkatan ini, berlangsung selama 15 hari di Kampus STIE Amkop Makassar, baru-baru ini.

Seperti halnya pada training penjajakan yang dilaksanakan Bulan Agustus 2010 lalu, maka 26 desa yang menjadi lokasi program ini masing-masing mengutus tiga orang kader-kader pemberdayaan masyarakatnya (KPM). Total peserta sekitar 90 orang, yang terbagi atas KPM 78 orang, fasilitator, co fasilitator, fasilitator pendukung (13 kecamatan), panitia, dokumentator, dan penanggungjawab program dan staff Yayasan WaKIL.   

Materi-materi dalam training perencanaan ini adalah :  (a) Kaji ulang Pentagonal Asset, (b) Rencana Strategis Desa, (c) rumusan-rumusan tentang cita-cita realistis yang dikaji berdasarkan asset baset masing-masing desa, kajian bidang-bidang strategis, matrks rencana tahunan, RKP, dan sistem penganggaran.

“Sebenarnya training ini bukan kapasitas kami sebagai KPM yang harus menerima materi seperti ini, karena kelihatannya materi khusus bagi anggota atau calon anggota DPRD, atau para kepala-kepala bidang di pemerintahan,” ungkap Ustadz Takdir dari Desa Borisallo, Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa.

Hal ini diungkapkan, karena memang latarbelakang rata-rata KPM yang tammatan SMU, dan ada beberapa yang masih kuliah ini, terkadang belum mampu mencerna materi tersebut. “Tapi syukurlah, karena ada lembaga yang mau member kemampuan (melatih, red) kepada kader-kader di desa dengan kemampuan dalam penyusunan RPJMDes,” katanya bersyukur. (sultan darampa)

Senin, 01 November 2010

Reviuw Refleksi Penjajakan Perencanaan Partisipatif

Makassar, (KBSC)
Program Perencanaan Partisipatif dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Sistem Bank Data Desa atas kerjasama Pemerintah Kabupaten Gowa, ACCESS – AusAID dengan Yayasan WaKIL, telah memasuki triwulan ke dua.

Sebelum masuk triwulan kedua, maka triwulan pertama diakhiri dengan reviuw refleksi penjajakan yang dilaksanakan selama 4 hari di Wisma Amanah, Kota Makassar, mulai tanggal 25 sampai 28 Oktober 2010.

Dimana pada triwulan pertama, yaitu dimulai pada Bulan Agustus sampai Oktober 2010, dengan sejumlah kegiatan-kegiatan seperti :
• Orientasi program
• Sosialisasi Program
• Training Penjajakan
• Penjajakan Lapangan
•Reviuw Refleksi Penjajakan

Dalam mengawal proses dan hasil selama triwulan pertama tersebut, maka beberapa capaian yang telah dihasilkan oleh 26 desa di Kabupaten Gowa antara lain :
1.Adanya informasi dasar tentang profile masing-masing desa site program

2.Adanya hasil-hasil indicator kesejahteraan (aspek dan ciri-ciri pembeda) bagi 26 desa di Kabupaten Gowa

3.Teridentifikasinya peringkat kesejahteraan (kaya, sedang, miskin dan miskin sekali) pada setiap desa di Kabupaten Gowa melalui sensus sosial.

4.Teridentifikasinya asset based desa (potensi dan tantangan) pada 26 desa di Kabupaten Gowa melalui pemetaan sosial dan pentagonal asset.

5.Teridentifikasinya sejarah-sejarah sukses masing-masing desa pada site program.

Dari identifikasi tersebut, maka telah melahirkan :
1.Cerita-cerita perubahan dapat dlihat pada Warga (perempuan, kelompok miskin, kaum muda dan termarginal), Pemerintah desa (kepala desa dan aparatnya, Kader-kader pemberdayaan masyarakat (78 kader). 

2.Progress (manual) dan dokumen-dokumen sebagai bahan-bahan perencanaan didalam pembangunan RPJMDes dan Sistem Bank Data Desa.

Untuk memperkuat kerangka dan logical frame work pencapaian visi dan perubahan utama rencana aksi “Perencanaan Partisipatif” ini, maka langkah-langkah selanjutnya adalah :
1.Training Perencanaan bagi 3 angkatan
2.Pelaksanaan perencanaan (lapangan) bagi 26 desa
3.Reviuw refleksi perencanaan triwulan kedua
4.Revleksi semester pertama

Dari rentetan kegiatan tersebut diatas, maka TOR kegiatan ini adalah untu menjawab point pertama, yaitu Training Perencanaan yang terdiri atas 3 angkatan.  

Untuk itu, tujuan training penjajakan bagi KPMD ini adalah berikut ini meningkatkan kemampuan dan skill fasilitasi dan pendampingan KPM dalam melakukan desaign perencanaan di desa masing-masing.

Meningkatkan kapasitas KPM untuk menfasilitasi warga desa dan dusun untuk melakukan perencanaan dalam penyusunan RPJMDes dan Sistem Bank Data Desa di 26 Desa di Kabupaten Gowa. (sultan darampa)

Minggu, 31 Oktober 2010

Bila Direktur Ketemu dalam Satu Forum (selesai)

 Makassar, (KBSC)

Berikut hasil-hasil rekomendasi dua kabupaten, yakni Gowa dan Takalar, maaf, hasil untuk Kabupaten Bantaeng dan Jeneponto, menyusul.

Kami telah mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan Penguatan Kapasitas (Capacity Building) untuk Perubahan Sosial mulai pada temuan-temuan penilaian kapasitas, tujuan-tujuan bersama perubahan yang akan dicapai, hingga pembagian peran dan tanggung jawab berbagai pihak untuk merumuskan strategi dan langkah-langkah yang diperlukan untuk pencapaian perubahan-perubahan sesuai visi TKLD Kabupaten Gowa dan Takalar, serta mengembangkan pembelajaran bersama berbasis pengalaman.  Pertemuan yang diikuti para Direktur dan Koordinator Program dari Organisasi Mitra Langsung dan ACCESS dengan dipandu oleh fasilitator dari REMDEC (Resource Management and Development Consultant) bertekad melaksanakan kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan  sebagai berikut:

1.Mitra Langsung bertanggung jawab terhadap rencana aksi, dan karena itu dengan sungguh-sungguh akan mengupayakan pencapaian tersebut. Untuk itu Mitra Langsung akan menjalin kerjasama dengan ACCESS dan Mitra Strategis sesuai kebutuhan masing-masing organisasi dan Kabupatennya.

2.Berupaya mendinamisasikan fungsi dan peran FLA (Forum Lintas Aktor) atau nama lain sejenisnya, sebagai forum pembelajaran bersama.

3.Saling berbagi pengalaman dan pengetahuan antar mitra dalam rangka mengupayakan pencapaian-pencapaian rencana aksi.

4.Menindaklanjuti hasil penilaian kapasitas untuk penguatan lembaga masing-masing baik diupayakan secara internal maupun bekerjasama dengan berbagai pihak.

5.Melaksanakan pembagian peran dan tanggung jawab diantara Mitra Langsung, ACCESS dan Mitra Strategis sebagai berikut ini:

Kabupaten Gowa
Sementara Peran dan tanggungjawab direktur mitra ACCESS di Kabupaten Gowa adalah sebagai berikut :

1.Mencapai visi/Outcome Challenge dari rencana aksi, Menerapkan nilai-niai partisipatif, transparansi dan akuntablitas, mendorong peningkatan kapasitas SDM lembaga dan mitra langsung, memastikan TKLD tercapai dalam implementasi rencana aksi, memonitoring dan mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pelaksanaan rencana aksi yang dilakukan tim pelaksana, mengarahkan, melatih, menfasilitasi, monitoring evaluasi dan tanggung jawab, memprasyaratkan keseimbangan perempuan dan laki-laki,  dan mendorong partisipasi dan menumbuhkan rasa memiliki semua terhadap rencana aksi.

2.Mengefektifkan FLA (Forum Lintas Aktor) atau nama lain yang sejenis,  yaitu pameran kreatif best practice pemberdayaan. working group FLA, membuat potret FLA untuk pembenahan dan membangun komitmen, membangun diskusi tematik membangun komunikasi aktif, membangun kesepahama bersama antar FLA.

3.Menyumbang pada PAK, Memediasi semua stakeholder unntuk memahami visi / misi Kabupaten Gowa, saling membantu melalui MEL, melakukan sharing pembelajaran.

4.Peran ACCESS, Menfasilitasi sumber daya local, menyiapkan perangkat-perangkat untuk support system kebutuhan mitra misalnya : informasi – informasi tentang issu atau tematik program, maupun non program

5.Peran Mitra Strategis, menfasilitasi kebutuhan – kebutuhan taktis ( modul, alat-alat belajar, dll), membantu proses MEL.


Kabupaten Takalar
1.Mencapai visi/Outcome Challenge dari rencana aksi, Berkomitment dan mendukung untuk pencapaian PAK dan nilai-nilai TKLD, mengadakan pertemuan di internal lembaga untuk monitoring dan evaluasi capaian-capaian rencana aksi, melakukan, merefleksi dan evaluasi tentang capaian-capiannya, pembelajaran antar mitra-mitra ACCES, mengembangkan ide/gagasan dan kerjasama antara mitra-mitra yang memiliki issue yang sama, mendorong terbukanya ruang dan peluang untuk pencapaian rencana aksi dan kaderisasi.

2.Mengefektifkan FLA & PAK, Regular meeting/ diskkusi tematik dan rencana strategi FLA, mengkampanyekan visi kabupaten dan agenda rencana aksi melalui: Baliho,brosur, pameran, audiensi, festival, film documenter dll, mendorong peran FLA untuk menfasilitasi lembaga-lembaga dalam membangun kerjasama dengan SKPD dan pihak-pihak lain.

3.Peran ACCESS, Mendukung upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas FLA, sharing info dan jaringan.

4.Peran mitra strategis, Peguatan kapasitas IMS, women leadership dan GSI, penguatan kapasitas organisasi dan kelembagaan.

Demikianlah komitmen bersama dan rekomendasi ini kami buat, agar dapat menjadi rujukan bagi kerja-kerja strategis semua pihak dalam mewujudkan perubahan-perubahan yang direncanakan dalam rencana aksi untuk berkontribusi dalam pencapaian Visi TKLD Kabupaten.  

Makassar, 07 Oktober 2010



1.Zainuddin Daud (Direktur Yayasan Baruga Cipta) dan Moh. Hatta (Koordinator Program)

2.Moh. Kodri Tapa, (Direktur Program Lembaga Bumi Indonesia), dan Nurhayati, S.KM.,M. (Kes Koordinator Program)

3.Kaharuddin Muji (Direktur WaKIL), dan Sultan Darampa (Koordinator Program)

4.Darmawan D (Direktur The Gowa Centre), dan Hasina Fajrin (Koordinator Program)

5.Nurlia Ruma (Direktur YKM “Gowata”), dan Putri Ratu (Koordinator Program)   

6.Rais Fatta (Direktur Yayasan Pendidikan Lingkungan), dan Syafri Situju (oordinator Program)

7.Nurlinda (Direktur FIK KSM), dan Abdullah Hasan (Koordinator Program)

8.Bambang Sul (Direktur Yayasan Buana Samboritta), dan Nini Afriani (Koordinator Program)

9.Husain Mabe (Direktur LPMT),  M. Danial (Koordinator Program)

10.Faisal Amir (Direktur Lembara), dan Syamsuddin S (Koordinator Program)   

11.Abdul Hakim (Direktur LAM),  Sudomo (Koordinator Program)

12.Handoko Sutomo (Direktur Remdec)

13.Sartono (Koorprov ACCESS Sulawesi Selatan)

14.Hj. Ratnah Arasy (Program Officer ACCESS Sulawesi Selatan) (sultan darampa)

Rabu, 13 Oktober 2010

Bila Direktur Ketemu Dalam Satu Forum (3)

Makassar, (KBSC)
Sampai sejauh 2 malam satu hari pertemuan, atau katakanlah ketika memasuki malam ke-2 di Hotel Grand Wisata, maka capaian yang paling kuat atau paling menonjol adalah revleksi dari “training women leadhership”.

Pasalnya, ketika Mbak Titik dari Gita Pertiwi Solo menfasilitasi forum ini, dengan cara brainstorming oleh masing-masing peserta dari 4 kabupaten, maka yang pertama kali buka suara adalah salah satu mitra ACCESS dari Kabupaten Takalar, --sekedar informasi kawan-kawan Takalar memang dinilai sangat kuat progress yang dicapainya pada setiap bulan.

Mitra ini melaporkan bahwa “sekedar Mbak Titik ketahui, bahwa training yang difasilitasi dulu Mbak Titik, maka kita di Kabupaten Takalar paling berhasil. Kenapa, karena baru satu bulan lebih, katakanlah belum cukup 2 bulan lepas dari training women leadhership, maka sudah lahir seorang pemimpin perempuan, yaitu seorang camat diangkat atau baru saja dilantik waktu itu adalah dari perempuan. Ini menurut saya luar biasa,” kata kawan kita dengan semangat ‘45nya.

Forum pertemuan langsung sunyi senyap, kayak kuburan, sunyi merinding. “Hebat betul kawan-kawan Takalar, kalau dalam sebulan sudah mampu melahirkan seorang pemimpin perempuan sekaliber camat, bagaimana kalau sudah berjalan setahun atau 12 bulan, berarti dalam masa itu, minimal sudah ada 12 bakal pemimpin perempuan yang siap memangku jabatan formal,” kata kawan lain terkagum-kagum.

Di tengah kekaguman bercampur tawadhu, tiba-tiba ada seorang kawan nyerocos, kayaknya  POnya ACCESS, --(maaf, jangan sampai pencairan dana lembagaku dipending gara-gara menulis namanya, he he. Dia memporak-porandakan kesunyian forum. “Tunggu dulu kawan, coba chek ulang, betulkah karena hanya sebuah pelatihan yang waktunya hanya 4 – 6 hari, sudah mampu melahirkan seorang kader-kader pemimpin perempuan, apalagi sekaliber camat,” tanyanya.

Maka lagi-lagi gemparlah kembali forum pertemuan itu. “Oh ya, jangan sampai kita terlalu jauh meneropong capaian dari training WL. Jadi seolah-olah apa yang mau dicapai adalah harus jadi pemimpin structural, harus ada jadi camat, ada yang jadi kades, atau ada yang jadi istri bupati, baru dapat dikatakan training ini berhasil,” kataku merenung.

Seperti juga yang diungkapkan peserta lain, betulkah kita serius untuk memproduk bakal-bakal pemimpin perempuan, stuktur atau fungsional. Betulkah kita ikhlas bahwa potensi-potensi (SDM) perempuan sudah siap di daerah-daerah, baik dari segi stigma social, fisik, utamanya kemampuan knowledge, atau jangan sampai kita hanya terbawa mimpi orgasme, mimpi enak tapi menakutkan, karena terciptanya perlawanan social baik dari dalam rumah tangga maupun pada lingkungan social yang lebih luas.

Ataukah pertanyaannya, apakah daya dukung social dan budayanya dimana para bakal pemimpin itu berassimulasi sudah memenuhi beberapa prasyarat ? Dan seperti yang dikatakan fasilitatornya, Mbak Titik, untuk mencapai kondisi yang diimpikan bersama, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. “Harus betul-betul by desaign, harus dipersiapkan untuk jangka waktu yang sangat lama, karena arah perubahannya bukan pada fisik, tetapi lebih pada cara berpikir, dukungan budaya, dukungan social lingkungan, dan lainnya, serta yang  tak kalah pentingnya adalah dukungan dan kondisi social rumah tangga yang harus lebih kondusif lebih dulu.

Tetapi bukan berarti kalau hal itu belum kondusif, maka lokomotif perubahan tidak dapat digerakkan, karena memang ada kondisi phisio-sosio yang  betul-betul dalam keadaan laten, sehingga mempercepat perubahan itu akan susah dicapai kalau harus saling menunggu.

Intinya adalah energy yang dapat digerakkan, maka disitu arasnya yang harus difokuskan. “He he he, kelihatannya kita serius ya”. Kata-kata itu kembali menjadi faktor kekacuan berpikir dan kekacauan suara-suara sumbang pada forum ini.

“Kalau saya, teorinya sih iya, maunya sih perempuan, itu juga disepakati kawan-kawan. Tapi jujurkah kita malam ini, coba kawan-kawan direktur tengok kiri dan kanan, (maksudnya disamping duduk anda semua), berapa persenkah diantara 20 pimpinan lembaga yang hadir malam ini dimana direkturnya adalah perempuan. He he, maaf, saya salah ucap,” kata kawan di sebelahku.

Jadi fakta ini, katanya, jangan dinafikkan, begitu kita sangat antusias bicara seolah-seolah sudah sampai di langit yang ketujuh, tapi eh, tahu-tahu diri kita sendiri yang belum ikhlas.

“Maaf, saya tidak mengajak kawan-kawan direktur untuk diganti lho. Maaf, kita agaknya bergeser ke topic selanjutnya lagi, karena ini area sensitive, hi hi hi,” kata Mbak Titik. Di-iya-kan juga oleh Mbak Dewi.

Akhirnya dari segala macam sesorah itu, maka diputuskan secara bersama-sama bahwa memang ke depan, teman-teman mitra langsung ACCESS masih membutuhkan penguatan-penguatan pada issu-issu gender, women leadehersip dan sejenisnya.

Akhir kata dari Mbak Titik dan Mbak Dewi, bahwa dibutuhkan ruang-ruang waktu tersendiri untuk mendiskusikan kapan teman-teman menyiapkan diri, tentu dengan lembaganya, untuk peningkatan kapasitas pada tematik tersebut diatas.

“Kasihan juga ya Mbak Titik dan Mbak Dewi, jauh-jauh naik pesawat ke sini, hanya bicara 2 – 3 jam saja, dan besoknya langsung balik pulang lagi,” kata kawan berprihatin.

“Kasihan sih kasihan, tapi ini juga momen bagi kedua Mbak itu untuk cepat-cepat pulang ke RTnya masing-masing. Tujuannya, agar dia juga berdiskusi secepatnya di keluarganya, siapkah dia berdua untuk memberi ruang kepada lakinya,” kawan lain menimpali. Tapi he he he, maaf ini sekadar intermesso.


Bersambung,… yuk,… (sultan darampa)

Selasa, 12 Oktober 2010

Bila Direktur Ketemu Dalam Satu Forum (2)

Makassar, (KBSC)
Yang menggelitik juga dalam forum ini, adalah ketika Pak De (panggilan akrab Sartono) dengan bahasa lugas menyentil para mitra langsungnya. “Kalau minta tanda tangan, maunya cepat, tetapi kalau bicara sudah sejauhmana program itu dijalankan, jawabnya laporannya sementara disusun, katanya datanya ditunggu dari lapangan, dan seribu macam alasan,” timpal Pak De.

“Betul itu Pak De, bagaimana soal janjinya Karma (Karaeng Made, salah satu mitra ACCESS di Kabupaten Takalar), apa sudah direalisasikan ?,” tanya peserta dari Kabupaten Gowa.  “Wah itu janji sudah dilupa, nanti diingat lagi kalau mau tanda tangan pencairan, ha ha ,” tegas Pak De.

Menurut gossip yang pernah beredar di kalangan mitra ACCESS, waktu itu Karma pernah berjanji kepada Pak De, katanya, “Pak De, kalau proposalku diterima ACCESS Bali, kita akan potong kambing,” begitu kira-kira janji politik Karma.

Sebenarnya Pak De tidak percaya, cuma karena material janjinya terlalu besar, yakni seekor kambing, spiecies Kambing Australia lagi, akhirnya Pak De “tergiur”. “Wah, tidak tuh, mungkin kambingnya takut masuk kota Makassar, sehingga tidak pernah sampai di rumahku,” kata Pak De mengelak.

“Tiba-tiba saya nyelutuk, hebat ya perubahan perilaku para direktur, segala peta strategis ditempuhnya, yang penting RAnya aman,”  kataku.

Mendapat tekanan politik seperti itu, Karma langsung mengelak, “maaf Pak De, karena situasi dan kondisi Kabupaten Takalar tidak stabil, cukup banyak gangguan keamanan, belum lagi kita sibuk dan terus bersama-sama masyarakat, maka “nazar” itu ditunda,” elak Made dipomatis. “Ditunda ya, tanpa ada batas waktu yang jelas, he he,” sambungku.

Riuh-rendah pertemuan itu menjadi jurus-jurus ampuh mengakrabkan peserta antarkabupaten, --memang diakui baru pertama kali 4 kabupaten dari semua pimpinan mitra ACCESS bertemu dalam satu forum. Sekedar catatan : “pertemuan direktur ini, adalah wadah perluasan pembelajaran yang sangat efektif, selain membangun silahturahmi, juga tercipta protokoler informasi, sehingga nilai-nilai pembelajaran yang terjadi disetiap mitra dapat disher di tempat ini”. 

Lanjut soal tadi,…

Tapi tiba-tiba dengan wajah yang serius, Pak De langsung membeberkan strateginya ACCESS. “Bahwa kita memang hebat, coba bayangkan dari semua mitra ACCESS ini masing-masing memiliki kemampuan dan kekuatan yang berbeda-beda, ada yang bekerja diissu public, di perencanaan partisipatif, dan lain-lain, bahkan ada mitra kita yang bekerja khusus “gali parit”.

Kontan peserta saling lirik, saling duga, saling mencurigai, siapa lagi yang kali ini kena lemparan sindiran. Eh, selidik punya selidik, ternyata kawan-kawan yang konsentrasi di PSDA, menyuarklah  suara dalam kelas yang dari semula hanya suaranya Pak De yang mengema pada dinding-dinding beton hotel. “Kali ini kau kena batunya, siapa suruh sok jaim, ha ha, eh nyatanya hanya kerja parit,” ledek peserta.

Jam dinding terus merambat jauh, tak terasa sudah setengah harian kita berdiskusi dengan sambal guyon yang khas Sulawesi, tibalah saatnya, Mas Handoko mempertegas capaian pertemuan. “Bagaimana tanggungjawab dan peran direktur di dalam memperkuat pencapaian visi kabupaten. Selain itu, juga dibahas energy-energi besar di setiap kabupaten yang pernah digagas kawan-kawan bersama ACCESS, yaitu forum lintas actor. Bagaimana kondisi forum ini, apakah biasa-biasa saja, ataukah ada sesuatu yang luar biasa, ataukah sedang merayap, ataukah ‘bunyinya’ sudah betul-betul redup alias mati suri”.

Pertanyaan ini kelihatan sederhana, tapi cukup menyentuh, bahkan menelisik nurani gerakan bagi kawan-kawan direktur, --kalau manager program, seperti saya, tentu tidak, ha ha. Seolah-seolah baru tersadar dari tidur panjangnya yang lelap, dan kelelapan itu adalah karena memang betul-betul “mugso” atau lenyap dari ikatan nurani, atau seolah-olah atau dipaksa mugso.

Karena  faktanya adalah ketika kawan-kawan sedang asyik bercumbu dengan programnya, kita sama-sama terlena, kita lupa dan sengaja melupakan diri tentang sebuah energy yang pernah mengantar kita sebelum memasuki yang namanya “program”.

Akhirnya, sepakat tidak sepakat, fakta berbicara benar bahwa kandisi FLA pada masing-masing kabupaten lagi kondisi abnormal, tidak sehat, dan sering batuk-batuk kering. Penyebabnya, support system yang pernah menjadi komitmen, dan alat berhimpun, alat diskusi, alat shearing, atau apa pun namanya, sudah ditelantarkan.

Malah kalau ditelisik lebih jauh, sudah ada yang saling memanfaatkan, sudah saling menyalib, sudah tidak baku sapah lagi, sudah saling berlumba untuk sesuatu yang bertentang dengan komitmen awal. Ini yang ironi, ini yang mengkhawatirkan, dan ini yang mendekati titik nadir.

Akhirnya puncak dari muntahan gondok,muntahan unek-unek yang selama menggelentung di dada para direktur dikeluarkan, atau dipaksa dimuntahkan, sehingga yang tersisa kemudian adalah pikiran-pikiran asset based, adalah pikiran untuk maju lagi, adalah pikiran untuk bangkit kembali, dan adalah nazar untuk mengevaluasi diri kearah perubahan (berpikir dan perilaku) yang lebih baik.

Dan janji, ikrar, dan petisi kemudian dikeluarkan, untuk kembali bersama-sama membangkitkan, membenahi forumnya para actor ini. Dan semua kabupaten, bersepakat untuk membenahi kembali FLA dalam bulan ini juga, kemudian manajemen ACCESS Sulawesi Selatan lagi-lagi sudah siap menerima laporannya.

Bahkan Kabupaten Gowa, --tidak bermaksud mencuri star atau cari muka, pembenahan FLA dilaksanakan di Lesehan Bili-Bili pada Hari Sabtu, tanggal 16 Oktober 2010. Informasi ini selain bersifat pemberitahuan juga undangan.

Bersambung,…. (tulisan terakhir adalah petisi / deklarasi) bersama antara mitra langsung dari 4 kabupaten di Sulsel, ACCESS sendiri, dan mitra strategis ACCESS. (sultan darampa)

Jumat, 08 Oktober 2010

Bila Direktur Ketemu dalam Satu Forum

Makassar, (KBSC).
Sejak hari Selasa hingga Kamis (tanggal 6 – 8 Oktober 2010) adalah hari yang agak ‘aneh’ bagi sekelompok orang, atau bagi sekompok pimpinan organisasi nirlaba. Soalnya, sejak check in di Hotel Grand Wisata, Makassar, sudah membuat heboh, dan malah membuat bingung (bengong) para staffing hotel.

Soalnya, judul acaranya adalah “pertemuan direktur”, menilik dari kata-kata ini, maka pikiran dan otak para penerima tamu hotel adalah gambaran sosok peserta pertemuan itu adalah berbadan gendut, kepala licin, pakaian necis, kulit putih mulus, dan orangnya tentu ramah-ramah. Pendeknya mengerti “adat istiadat”.

Tapi kenyataannya berbalik 180 derajat, karena peserta yang hadir pada pertemuan direktur ini adalah berbadan kurus ceking, sedikut kumal, kepala gondrong tak teratur, pakaian apa adanya, kulit hitam legam terbakar matahari, dan orangnya sangar-sangar. “Kok para direktur yang datang begini tampangnya… ya, heran que,…. Ha ha,” demikian kira-kira para staff hotel membatin menatap keheranan yang dihadapinya.

Para direktur yang mendapat tatapan mata seperti itu juga tak kalah herannya, “kami ini salah apa ya, padahal inilah penampilan terbaik saya, apalagi kami mau masuk hotel, tentu tahu adat istiadat,” kata para direktur. “Makanya pak kalau masuk hotel tolong jangggut dirapikan, karena disangka teroris,” kata temannya  menimpali.

Lebih kacau lagi, para direktur dan manajer program yang berasal dari 4 kabupaten di Sulsel ini (Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng) begitu kumpul langsung meracau tak karuang. “Eh bung, jangan mengaung-ngaung, ini bukan hutan,” celutuk salah seorang peserta memperingatkan akan suasana.

Tapi seperti hujan badai yang turun dari langit, teguran itu tak dihiraukan, apalagi diwarnai sedikit “rasa haru”, karena begitu bertatap mata, mereka langsung peluk-pelukan, (tentu yang sesama jenis), saling mengelus jenggot, dan beragam adegan  yang “memilukan”.

Dan keesokan paginya, ketika Koordinator ACCESS Sulawesi Selatan membuka acara dengan gaya sambutannya yang khas Guru Bangsa, maka Pak Sartono, memberikan pengarahan-pengarahan kepada peserta. Aneh dan bin ajaib, arahan-arahan itu bukannya dianggap sakral, atau serius, malah disambut bak lelucon.

“Tak heran kalau para direktur adalah pelawak-pelawak handal, karena memang Koordprovnya saja lebih jago melucu lagi, kayaknya dia pelawak jempolan, sayang karena besar di Makassar sehingga beliau hanya guru bangsa, coba kalau besar di Jawa, pasti sudah terbagung dalam SRIMULAT, bersama-sama tarsan,” urai peserta dengan gaya analisis ilmiahnya.

Yang jadi bengung justru fasilitator, Pak Handoko, Direktur  Remdec Swaprakarsa. Dia kebingungan menganalisis, mana bahasa yang serius, atau bahasa TOR kegiatan, mana bahasa guyon. Akhirnya, sang fasiltiator pelan-pelan membaca situasi, dan tak lama kemudian, diapun ikut arus, malah tergadang dia lebih ngaco lagi, hampir-hampir  gaya lawakannya menyaingi Pak De.

He, he, dasar pertemuan direktur pelawak,….. bersambung.  (sultan darampa)

Sabtu, 02 Oktober 2010

Training Penjajakan dalam Perencanaan Paritsipatif Kabupaten Gowa

Tim manajemen dan fasilitator, serta panitia tengah mempersiapkan seluruh kebutuhan training.

Perencanaan Partisipatif, adalah sebuah gagasan tentang bagaimana pentingnya sebuah desa harus memiliki dokumen perencanaan yang betul-betul disusun, dan melibatkan semua unsur dan elemen dalam masyarakat  pada suatu desa. Utamanya bagi kalangan perempuan, kelompok miskin, kaum muda dan orang-orang termarginal.

Gagasan ini kemudian dituangkan dalam bentuk kerjasama antara ACCESS – AusAID dengan Pemerintah Kabupaten Gowa, yang kemudian dijalankan oleh Yayasan WaKIL atas mandat program dari ACCESS dan Pemerintah Desa atas persetujuan Pemerintah Kabupaten Gowa melalui Bupati Ichsan Yasin Limpo.

Yayasan WaKIL kemudian merancang program ini dalam bentuk rencana aksinya yang diberi judul “perencanaan partisipatif dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes) dan sistem bank data desa. Dan untuk Kabupaten Gowa sebanyak 26 desa yang terlibat dalam program ini dengan menggunakan metodologi CLAPP-GSI.

Metodologi CLAPP-GSI melakukan pengkajian berupa peringkat kesejahteraan masyarakat (PKM), sensus sosial, pemetaan sosial, sejarah sukses desa, pentagonal asset, analisis  gender, hubungan kelembagaan, kelender harian dan musim, serta sejumlah alat-alat kajian lainnya. 

Kenapa program Perencanaan Partisipatif di Kabupaten Gowa dikerjakan oleh Yayasan WaKIL. Demikian Direktur Eksekutif  Yayasan WaKIL, Kaharuddin Muji mengawali penjelasannya pada acara sosialialisasi program di Hotel Pesanggrahan Kota Malino, baru-baru ini.

Alasannya, sebab akhir tahun 2009 atau awal 2010, kita telah melakukan penjajakan di beberapa kecamatan, termasuk beberapa desa di dataran tinggi, dan daerah perkotaan yaitu Kecamatan Palangga. Dari situ, WaKIL mencoba membangun komunikasi kerjasama dengan ACCESS dengan agenda-agenda sosial.

Tapi jauh sebelum itu, juga WaKIL telah kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Gowa soal advokasi alokasi dana desa. Pengalaman ini juga semakin menguatkan WaKIL melakukan program ini.

Sebenarnya bukan hanya WaKIL yang bekerjasama dengan ACCESS, di Kabupaten Gowa ada 5 lembaga (LSM) yang juga bekerja sama dengan ACCESS, tetapi temanya berbeda, misalnya ada LSM mengambil tema pengelolaan sumber daya, perempuan dan pelayanan ekonomi, pelayana pendidikan alternative, serta pelayanan hukum, juga tentang pelayanan kesehatan.

Dari situ, mungkin ada diantara bapak dan ibu, yang sudah mengetahui atau bekerja sama juga dengan LSM kawan-kawan itu. Cuma khusus dengan Perencanaan Partisipatif ini memang usulannya dari Pemerintah Pusat.

“Aturan hukumnya sangat kuat,  coba kita lihat dasar hukumnya kenapa kita mengelola program perencanaan partisipatif ini.  Mulai dari  UU No. 25/ 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,” kata Mujid

Juga, SK Mendagri Nomor 050/987/SJ tahun 2003, PP No.72 tentang Desa & PP N0.73,
SEB Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri nomor 008/M.PPN/0I/2007 dan 050/264A/SJ Tahun  2007.

Malah, ada Perda Provinsi Sulawesi Selatan N0.2 Tahun 2010 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah (Sisrenbangda). Dan yang lebih utama adalah Peraturan Daerah (Perda) No.03 tahun 2004 tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Gowa
Perda No.04 tahun 2004 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten Gowa.

Dengan rangkaian dan proses yang diharapkan dari program ini, maka mimpi desa adalah adalah pertengahan tahun mendatang, 2011, 26 desa di Kabupaten Gowa sudah memiliki dokumen Perdes RPJMDes dan Sistem Bank Data Desa. (sultan darampa)

Sabtu, 07 Agustus 2010

Undangan Orientasi Program

Kepada Yth Kawan-Kawan Fasduk di Kecamatan Masing-masing.

Dengan hormat, kami mengundang bagi kawan-kawan dari fasilitator pendukung program "Perencanaan Partisipatif dalam Penyusunan RPJMDes dan Bank Data Desa", agar menghadiri rapat "Orientasi Program" di Kantor WaKIL, Kota Sungguminasa Kabupaten Gowa, pada Pukul 09.00 Wita, Hari Selasa, Tanggal 10 Agustus 2010.

Fasiliator yang diundang : Natsir Dg.Tola, Hasiniati Sila, Angraeni Ardan, Yuniarti, Ridwan, Murniati, Sitti Suminara Rauf, Abd. Malik, Muh.Ardi Londong, Idawati, Jamali Amal, Amiruddin dan Ismawati.

Demikianlah pemberitahuan dari manajemen WaKIL.

Sabtu, 31 Juli 2010

Sekolah Bokasi Komunitas Limboa


 
Executive Director WAKIL Foundation, Kaharuddin Muji (pakai kacamata), didampingi Manager Programnya (kanan), saat mengikuti training Outcome Mapping.

Salu Tua, (KBSC)
Satu lagi maju yang dilakukan WAKIL group dalam memperkuat basis-basis dampingannya di masyarakat, yaitu menjadikan Limboa sebagai tempat belajar petani (sekolah) pembuatan bokashi.

Pengelolaan bokashi dibawah langsung manajemen Kelompok Tani (Koptan) Limboa, seperti yang diceritakan salah seorang pendamping Yayasan WaKIL yang beroperasi di Kecamatan Tinggimoncong.

Menurut Natsir Dg.Tola, keberadaan komunitas Limboa memang sangat strategis, selain karena dukungan ekosistem dan tofografi kondisi alamnya yang memungkinkan, juga karena faktor kesediaan dan kerelaan, serta tumbuhnya sikap kegotongroyongan oleh anggota Koptan tersebut.

"Dua tahun lalu sudah dibangun 'markas' Koptan, yaitu berupa balai pertemuan yang dibuat ditengah-tengah sawah, dan di bawah rumah tersebut tersedia kolam air tawar. Kolam ini tidak akan pernah kekeringan, karena sulplai air dari saluran induk DAS Jeneberang juga tidak pernah berhenti," ceritanya.

Di depan gedung balai rakyat tersebut, juga dibangun satu unit gedung khusus untuk pengelolaan atau pembuatan pupuk organic bokashi. Hal ini dilakukan, karena memang sumber utama atau  bahan utama pembuatan bokashi adalah jerami, jadi nantinya bahan-bahan ini tinggal diambil saja langsung dari sawah anggota Koptan.

Sementara Deputy Executive Director WAKIL Foundation, Ernawati Rasyid Dg.Te'ne mengatakan, keberadaan sekolah bokashi tersebut adalah by desaign dari rangkaian panjang mimpi-mimpi yang dibangun WAKIL.

"Memang ke depan, ada beberapa komunitas yang akan didampingi, termasuk mengkonsultasikan potensi masing-masing komunitas. Tapi kita melihat dulu apa yang dimiliki komunitas dampingan, bagaimana semangatnya, kemampuan teknisnya, dan kecondongan-kecondongan apa yang diimpikan komunitas tersebut," akunya.

Tapi proses ini memang tidak pendek, dari sekian tahun WAKIL menjalankan mandat visinya, baru dua atau tiga terakhir ini menemukan pola yang menurut WAKIL dianggap cocok untuk sementara waktu. Dan dari situlah, akan terus dievaluasi, apa kira-kira pengembangan itu diarahkan pada jalur yang telah dilakukan selama ini, atau justru dikembangkan ke arah yang mungkin sedikit berbeda dari sebelumnya.

Jadi, sekolah bokashi adalah satu langkah nyata dari kawan-kawan di WAKIL untuk terus berkarya bersama dengan komunitas-komunitasnya. (sultan darampa)

Jumat, 30 Juli 2010

Sekolah Alam bagi Wisatawan di Malino


Malino, (KBSC)
Pembangunan kampung wisata yang digagas aktivis lingkungan Edi Hariadi tergolong unik dan lebih khusus sebagai upaya nyata di dalam kelestarian lingkungan, sekaligus membangkitkan kepariwisataan yang lagi lesu.

Kampung wisata yang terletak di Dusun Katiklaporan, Kelurahan Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa itu, memiliki luas sekitar 20 hektar, dengan fasilitas 20 rumah penginapan turis (milik penduduk lokal), ekosistem hutan dan sejumlah fasilitas fisik lainnya.

Sekedar diketahui, bahwa pembangunan Kampung Wisata selain diinisiasi oleh Edi Hariadi dan kawan-kawan, investornya datang dari masyarakat sendiri, yaitu masyarakat yang memiliki rumah di kawasan tersebut

Sejumlah fasilitas lain, diantaranya :
1. Outbound pendidikan (flaying fox, pelibatan orang kampung dalam pelatihan penangungalangan bencana, mahasiswa praktekan tentang teknik penamggilangan bencana)
2. Pendidikan lingkungan (ana-anak mengenal alam, mereka tinggal di rumah-rumah penduduk, dan penduduk menjadi orang tua angkat untuk melihat kondisi ekosistem lingkungan sehari-hari, misalnya bagaimana hubungan social kemasyarakatan yang terjadi di kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Makassar).
3.Beberapa jenis tanaman kehutanan, seperti ekosistem hutan pinus, tanaman akar tunggang dl, juga model perkebunan hortikultura.
4. Membangun balai pertemuan dan lesehan untuk aktivitas wisata. Balai ini untuk dialog, pertemuan, pelatihan in class, termasuk diantaranya adalah dialog pendidikan lingkungan .
5. Empang dua tingkat 5 x 10 meter persegi dan 10 x 10 meter persegi (dipinggir empang dibuatkan lesehan) 22 gasebo dan lesehan yang dimiliki oleh masing-masing 22 kepala keluarga. Itu kontrak ekonomi dengan masyarakat. 
6. Kolam permandian. Kolam ini juga dikerja oleh masyarakat dan difasilitasi oleh masyarakat, sehingga kontribusinya juga diatur oleh manajemen kampung ini. 
7. Sumber air. Berupa anak sungai dari DAS Jeneberang (dimana di hulu anak sungai ini telah dilakukan konservasi. sehingga cadangan sumber air baku di masa akan datang tidak bakalan terganggu.

Beberapa syarat-syarat tamu turis untuk dapat menggunakan kampung ini, yaitu  :
1. Menanaman pohon minimal 1 pohon sebelum tinggal di rumah tersebut. Nama pohon tersebut diberi nama sesuai dengan nama orang yang menanam. Jadi, sewaktu-waktu mereka dapat datang melihat pohon tersebut. Soal biaya perawatan, maka dapat dititip biaya rawat untuk menjadi milik pribadi, dan dana titipan ini akan dikelola oleh manajemen kampung. Misalnya selama 1 tahun, biaya titipnya 10.000. Tujuannya, upaya untuk pendidikan sadar lingkungan. Jadi bagaimana orang punya kecintaan lingkungan itu tumbuh dalam diri seseorang.
Pertannyaannya, bagaimana kalau pohon itu mati, maka siempunya dapat mengganti dengan pohon baru tanpa dapat dialihkan kepemilikan ke orang lain.
2. Block Grand. Dana ini berasal dari swadaya masyarakat. Sumber dana ini  adalah dana titip perawatan pohon, misalnya jika arus kunjungan turis (manca dan domestic) mencapai 100 orang dalam satu tahun, maka dapat diprediksi bahwa sudah ada 100 pohon tanaman baru yang ada dalam kawasan tersebut. 100 pohon tersebut dikalikan Rp 10.000 perpohon sebagai  biaya perawatan, maka total dana investasi yang masuk sudah ada Rp 1 juta. Kemudian pendapatan lain, seperti biaya penginapan, makan, penggunaan lesehan dan royalty, maka jika itu dikumpulkan, akan menghasilkan pendapatan yang lumayan. Pendapatan ini diakumulasikan dalam bentuk investasi, untuk kemudian pengembangan dan penambahan sarana.    
3. ID card pohon. ID ini menjadi simbolik bagi seseorang untuk mengkampanyekan go green dimana ia berada. Misalnya, jika berada di suatu negara, maka ia dapat memperlihatkan ID card ini bahwa di Indonesia ia memiliki pohon untuk tujuan misi pengurangai emisi karbon.

Pendidikan Anak Sekolahan
Sejumlah lembaga pendidikan telah melakukan MoU kerjasama dengan pengelola Kampung Wisata ini, diantaranya adalah Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Mega Resky Makassar. STIKES menilai bahwa kegiatan pendidikan out class ini adalah bagian dari kurikulumnya.
    Misalnya, selama 6 bulan, mahasiswa STIKES belajar in class di kampusnya, lalu 6 bulan berikutnya modul teori tersebut dipraktekkan melalui pengalaman belajar lapangan. Jadi out classnya adalah di Kampung Wisata.
    “Sebenarnya salah output pendidikan out class ini adalah solusi alternative dari program Ospek yang selama ini berbau kekerasan. STIKES memandang, Ospek tetap dilaksanakan, tetapi cara dan starategisnya jauh berbeda, pengenalan alam bagi mahasiswa jauh lebih baik dari metode Ospek yang selama ini dikembangkan oleh kampus-kampus,” ujar Pipit, nama beken Edi Hariadi.
    Selain tingkat mahasiswa, kampung wisata ini juga diperuntukkan untuk kalangan anak-anak sekolahan SMP, SD dan SMU. Tujuannya, bagaimana anak sekolahan ini selain mengenal ekosistem alam, juga dapat melihat aktivitas sehari-hari masyarakat kampung, misalnya bagaimana ia melihat masyarakat memelihara pohon aren, mengambil tuak, lalu diolah untuk menghasilkan gula aren.
    “Jadi seluruh proses pembuatan gula aren dapat disaksikan dan dipelajari oleh siswa outbound langsung dari praktek lapangan. Dan praktek lapang inilah yang berkontibusi besar terhadap pengalaman belajar bagi anak-anak ke depan,” kunci Pipit. (sultan darampa)

Sabtu, 24 Juli 2010

Perempuan Tani dan Mekanisasi Pertanian Legowo


Sejumlah anggota Koptan Perempuan Asran, tengah melakukan evaluasi hama di sekretariatnya di Demplot dan Pusat Penangkaran Benih Dataran Tinggi Kuang.

Demplot Kuang dengan sistem Legowo21.



Makale, (KBSC).
Peran-peran perempuan memang tidak pernah surut dari segala aktivitas dan pola kehidupan berumah tangga.  Energi perempuan seakan tak pernah surut, seakan tak mengenal keriput dan legamnya wajah-wajah yang tertimpa sinar matahari.

Itulah sekadar penggambaran mengenai sosok dan kiprah perempuan kelompok tani Toraja, yang lebih dikenal sebagai Kelompok Tani Perempuan Asran, Lembang Madandan, Kecamatan Rantetayo, Kabupaten Tana Toraja.

Aktivitas kelompok tani yang mengkhususkan anggotanya lebih dominan perempuan, (ada beberapa laki-laki juga pengurus koptan perempuan ini, red), setelah melakukan studi banding dan beberapa kali training tentang pola penanaman legowo21, yang saat ini baru dipahami oleh petani dataran tinggi Toraja.

Diakui, sistem legowo21 ini sebenarnya sudah lama dikembangkan, utamanya di Jawa, tetapi khusus untuk di Kabupaten Toraja dan Toraja Utara, untuk pertama kalinya (sejak dua musim lalu, red) sudah mulai diterima di kalangan petani.

Lucunya, justru kelompok-kelompok tani perempuan ini yang lebih dulu menerima sistem ini. Dimana karena penolakan ini dianggap cukup bermasalah bagi kondisi sawah-sawah di dataran tinggi, seperti luas sawah / tanah yang sempit memanjang, kondisi yang bertingkat-tingkat, sehingga sejumlah petani sangat menyayangkan lowongnya tana-tanah yang menurutnya mubassir.

Seperti diketahui, pola legowo21 ini, yakni jarak tanamnya 20 cm x 40 cm. Artinya, jarak samping yakni 40 cm, sementara jarak muka-belakang yakni 20 cm. Dimana selama ini, sistem tanam yang tradisional, adalah 5 cm x 10 cm.

Jadi, tradisi itu yang dilabrak oleh Koptan Perempuan Asran, dan setelah melalui dua kali musim, akhirnya mereka menyadari bahwa pola ini selain efektif atau irit terhadap kebutuhan air, dan produksinya jauh lebih meningkat.

Pendampingan
Tumbuhnya kesadaran bagi perempuan tani di Toraja memang melalui proses yang panjang. Awalnya, mereka menolak, bahkan mencemoh penyuluh-penyuluh yang disiapkan oleh Yayasan WALDA. Alasannya, sederhana, sedangkan Dinas Pertanian setempat yang setiap musim telah membikin demplot percontohan tidak ada yang berhasil.

Malah penyuluh pertanian yang telah disiapkan oleh pemerintah setempat “tidak siap” melayani kebutuhan pengetahuan masyarakat. Hal ini sangat dirasakan oleh Koptan Perempuan Asran. Waktu itu, setelah padi tumbuh beberapa minggu, kemudian terlihat adanya tanda-tanda serangan hama, maka dipanggillah penyuluh dinas untuk memantau, atau mencermati hama itu, tapi jangkan ia datang, menerima telepon dari warga saja tidak mendapatkan pelayanan yang baik.

Jadi tantangan yang terberat dirasakan petani, bukan hanya koptan perempuan, adalah ketersediaan layanan informasi yang memadai dari pihak pemerintah. Oleh karena kondisi seperti itu, maka koptan ini tidak mau menyerah begitu saja, akhirnya WALDA mendatangkan penyuluh swadaya, Nasruddin dari Pinrang dan Parepare. 

Berkat kegigihan tan mengenal menyerah, Nasruddin berhasil meyakinkan masyarakat, atau petani, tentang efektitas pola ini. “Setiap saat, tidak mengenal waktu dan kondisi, misalnya hujan keras, saya dengan naik motor butut dari Parepare datang ke Toraja untuk melayani kebutuhan petani,” aku Nasruddin, yang juga dibenarkan oleh Manager Pusdiklat Pertanian Dataran Tinggi Toraya, Yosni Pakendek.

Pusdiklat SL-PPT swadaya ini adalah usaha nyata dari WALDA untuk terus melakukan pendampingan dan penguatan organisasi-organisasi petani di dataran tinggi.

Dengan dukungan non financial seperti itu, maka Koptan Perempuan Asran juga telah melakukan ekspansi usaha, seperti pembuatan briket arang dari limbah buah pinus, dan ke depannya, akan mengembangkan pola peternakan terpadu dengan sistem budidaya pakan. (s.darampa)  

Jumat, 16 Juli 2010

Gowa Mempersiapkan Kepimpinan Perempuan


ACCESS-AUSAID bersama dengan mitra strategisnya dari Solo, Gita Pertiwi, telah mengembangkan dan mempersiapkan kader-kader perempuan untuk merebut posisi-posisi strategis di masa mendatang. Posisi ini baik dalam struktur informal di kemasyarakatan, maupun pada struktur formal.

Persiapan strategis kepemimpinan perempuan ini digelar pada training Women Leadhership, yang diikuti oleh 6 lembaga social kemasyarakatan di Kabupaten Gowa, diantaranya adalah Yayasan WaKIL, YPL, YBC, YKM, LBI dan TGC. Masing-masing lembaga mengutus 4 orang wakilnya atau staffnya, dimana prosentasinya adalah 3 perempuan dan seorang laki-laki.

Sementara dari ACCESS sendiri, mengikutkan 3 orang utusannya, yakni Nurfajri (laki-laki), Ratna Arasy dan Sari (perempuan). Fasilitatornya adalah Ibu Dewi dan Ibu Titiek.

Materi-materi yang disuguhkan antaralain, “kapal riste tentang perempuan”, “beberapa pengertian tentang gender dan seks (perbedaannya)”, “gender social inclusive”, kondisi dan fakta-fakta masing-masing LSM dalam rangka mempersiapkan kader-kader perempuannya”, sejumlah rekomendasi dan kegiatan-kegiatan lanjutan untuk memperkuat pencapaian agenda women leadhersip.

Mengapa Gender Penting ?
Jenis Kelamin merujuk pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrati (didapat dari kelahiran) dan universal. Jadi, gender merujuk pada arti dan peran sosial sebagai perempuan dan sebagai laki-laki menurut masyarakat budayanya

Arti dan peran sosial (Gender) tsb, didapat karena :
• Disosialisasikan sejak dini
• Dibesarkan
• Diajari berprilaku
• Diharapkan
• Sebab itu gender bersifat dinamis (karena masyarakat budaya itu beragam dan berubah)
• Pembagian kerja menurut jenis kelamin
• Peran/status kedua jenis kelamin dalam keluarga/masyarakat
• Kepantasan dalam berprilaku
• Hubungan/relasi antara kedua jenis kelamin
• Hak dan wewenang antara kedua jenis kelamin
• Pengalaman, kebutuhan, hambatan sebagai perempuan dan sebagai laki-laki
• Dst.

Jadi, konsep gender dan PUG muncul sebagai unsur penunjang pembangunan relatif baru muncul dalam Konperensi Perempuan ke- 3 di Nairobi 1985 dalam suatu perdebatan peran perempuan dalam pembangunan sebagai response terhadap ketertinggalan perempuan di dalam hampir semua bidang pembangunan

Di konperensi Perempuan ke- 4 di Beijing 1995, PUG menjadi kesepakatan bersama, PUG masuk kedalam The Beijing Platform For Action

Juga, soal Response Indanesia : Inpres No. 9 Tahun 2000 yaitu Intruksi Presiden yang mengharuskan semua sektor pembangunan melaksanakan PUG

PRJM 2004-2009, peningkatan kualitas hidup perempuan, salah satu agenda menciptakan Indonesia adil dan demokratis

Adanya kesenjangan hasil capaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki dihampir segala bidang pembangunan, diperlihatkan dalam berbagai indeks dan ukuran pembangunan Indeks Pembangunan Manusia (HDI), Indeks Pembangunan Gender (GDI), Ukuran Pemberdayaan Gender (GEM), padahal De Jure tidak boleh ada diskriminasi (UUD 1945, pasal 28 ayat (1) dan pasal 31 (1), UU No. 7 tahun 1984, Penghapusan Segala Bentuk, Diskriminasi Terhadap Perempuan)

Menurut Fasilitator, Dewi dan Titiek, bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang dalam mempengaruhi kelompok atau pengikut untuk mencapai satu tujuan tertentu, kepemimpinan perempuan dapat didefinisikan sebagai kemampuan dari perempuan untuk mempengaruhi kelompok atau pengikutnya mencapai tujuan tertentu, dalam konteks budaya patriarkhi, kepemimpinan perempuan merupakan perjuangan perempuan untuk meminta kembali pikiran mereka dan mematahkan kediaman yang dipaksakan oleh struktur-struktur patriarkhat dan institusi-institusi lain yang membatasinya

Juga ia menawarkan beberapa hal, diantaranya, adalah bagaimana syarat mutlak bagi kepemimpinan perempuan adalah perspektif keadilan gender yang harus mampu membawanya ke proses refleksi dan analisis atas pengalaman hidup sehari-hari yang kemudian membimbingnya mengenali struktur-struktur lebih besar yang kadang kala tidak terlihat.

Hal lain, menurutnya, perspektif keadilan gender akan membantu pemimpin perempuan untuk melihat dirinya sebagai pembuat sejarah, bukan hanya sebagai obyek pasif dari proses bersejarah.

Peluang-peluang untuk kepemimpinan perempuan:
Beberapa peluang-peluang untuk merebut kepemimpinan perempuan adalah karena factor kebijakan negara dan skema proyek gender, mendayagunakan pendidikan alternatif yang sudah dikembangkan oleh masyarakat sipil untuk penguatan perspektif gender, skema program-program pemerintah, NGO, dll, memaksimalkan keberanian dan keaktifan yang sudah dimiliki pemimpin perempuan, otonomi daerah (otonomi desa)

Maka untuk itu, bagaimana mendorong perempuan merebut ketertinggalan, dengan cara meningkatkan akses dan kontrol perempuan terhadap semua sumberdaya dan mengatur pasar agar meningkatkan produktivitas keluarga dan pendapatan ekonomi secara luas.

Design program secara eksplisit menyebut target perempuan, namun bukan perempuan saja, tapi harus ada keseimbangan jumlah laki-laki dan perempuan. Eksplisit target ini merupakan sebuah proses untuk mengakhiri diskriminasi gender dan menjamin hak-hak perempuan.

Ukuran keberhasilan program terdapat pada produktivitas, peningkatan pendapatan (laki-laki dan perempuan) serta pengelolaan SDA, pelestarian lingkungan ,manfaatnya diterima secara nyata oleh perempuan.

Promosikan organisasi perempuan (kelompok, jaringan, federasi,dll) untuk meningkatkan kapasitas , akses pelayanan dasar, serta pemberdayaan ekonomi yang mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan secara kolektif. Peningkatan kapasitas terutama untuk mendorong kemampuan analisis, pengambilan keputusan serta leadership.

Membudayakan orientasi profit dalam bekerja. Banyak buruh perempuan hanya menjadi pelengkap proses produksi dipertanian sehingga hanya dibayar murah. Adanya kebijakan dan intervensi yang memberikan peluang bagi semua pekerja pertanian meningkatkan produksifitas.

Memberikan kemudahan kepada perempuan untuk mendapatkan kemudahan sumber daya finansial untuk memenuhi kebutuhan usaha dan keluarganya . Pertumbuhan keuangan lokal di pedesaan menjadi salah satu intrumen dalam pengentasan kemiskinan.

Rekruit dan latih perempuan sebagai jasa layanan masyarakat. Peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan di garis depan akan memberikan pelayanan lebih baik, pengembangan usaha, konservasi lingkungan sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan keseimbangan pelayanan dasar.

Melindungi hak perempuan dan mengontrol pertumbuhan ekonomi agar mereka mendapatkan asset untuk peningkatan pendapatan.

Khusus dalam hal partisipasi untuk pengambilan keputusan, harus dipastikan suara perempuan dan perwakilannya dalam pengambilan keputusan. Dorong adanya quota untuk meningkatkan representasi keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan

Melibatkanperempuan di pedesaan ikut mendesign produk yang inovatif dan pelayanan bagi masyarakat. Dengan pendekatan yang partisipatif, mereka dapat merencanakan kebutuhannya serta merancang tehnologi yang sesuai.

Mengembangkan riset pengetahuan yang memberikan informasi bagi pengambil kebijakan.

Melakukan gender assesment dan asistensi tehnis serta konsultansi yang langsung memberikan informasi praktis bagi pengambilan keputusan.(s.darampa)

Rabu, 17 Maret 2010

Mari Belajar Perencanaan Ala CLAPP GSI

Makassar, KBSC).
ACCESS AusAid, sebuah lembaga donor dari Australia yang berkantor pusat di Bali telah melakukan penerapan tools community learning action partisipatory planning gender social inclusive (CLAPP-GSI) didalam membuat penjajakan, perencanaan dan penganggaran pada rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) desa dan kelurahan di empat kabupaten di Sulawesi Selatan.

Keempat kabupaten tersebut adalah Bantaeng, Jeneponto, Takalar dan Gowa. Dua kabupaten diantaranya, Gowa dan Takalar rencana aksinya berawal April 2010, sementara Bantaeng dan Jeneponto telah melalui beberapa tahapan kegiatan minimal setahun yang lalu.

Konsep CLAPP yang akan diterapkan pada 2010 ini pada Gowa dan Takalar sedikit berbeda dengan dua kabupaten lainnya, dimana konsep CLAPPnya sudah memasuki prinsip GSI, sementara pada tahun-tahun sebelumnya, ACCESS masih menggunakan CLAPP-GPI.


“Pada hari ini (tanggal 1 Maret) kita akan memulai training untuk calon failitator CLAPP - GSI. Peserta yang diundang berasal dari 4 kabupaten, dari Gowa 12 orang, Takalar 12 orang, serta tiga orang dari masing-masing Kabupaten Jeneponto dan Bantaeng. Kedua kab terakhir ini sudah berpogram,” ungkap Fasilitator Utama CLAPP GSI dari Mitra Samya ketika mengawali training ini.

Menurutnya, jadi nantinya dalam forum ini diharapkan terjadi shearing pengalaman yang belum dan sementara berprogram dengan tema yang sama yang akan diusung oleh WaKIL Gowa dan FIK LSM Takalar.

CLAPP sudah dilakukan 4 tahun, mulai CLAAPP fase I, dan kemudian pada fase ini mulai ada perubahan, yang hingga kini akan melahikran 5 buku, dan yang akan dipelajari dalam pelatihan ini adalah 3 buku. Jadi Bantaeng dan Jenepotno akan banyak menggunakan buku 3 ini, soal Ranpedes.

Untuk Jenepotno dan Bantaeng, kita sudah melaksanakan sekitar 1 tahun lebih, lalu diadopsi oleh pemerintah daerah, dan malah diterapkan didesa-desa, yang kemudian menjadi bahan musrembang di desa-desa. Jadi kedua kabupaten ini sudah dipratekkan.

“Saya kira Gowa dan Takalar ini sudah bisa diikutkan oleh Bantaeng dan Jeneponto,” katanya. Ini tidak tertutup kemungkinan akan kita (Gowa dan Takalar) studi banding ke Jeneponto dan Bantaeng, disitu dilihat bagaimana kolaraboras antara LSM dengan pemerintah daerah,” kata Sartono, Koordinator Propinsi ACCESS-AusAid Sulawesi Selatan.

Menurut Sartono, seperti yang diutarakanoleh fasilitator utama tadi, karena ini merupakan turunan yang kedua, setelah TOT di Mataram, jadi sebenarnya hari ini sudah harus menjadi co fasiltiator, yang nantinya akan melatih para KPM-KPM dalam perencanaan desa. Untuk itu diperlukan kekuatan untuk menfasiltiasi desa, dimana kalau awalnya 2 bisa menjadi 5 dan sterusnya.

Karena betapa pentingnya kegiatan ini, maka dilakukan di Clarion Hotel, dan untuk selanjutnya masing-masing kabupaten akan dilaksanakn di kabupaten. Artinya lebih baik memanfaatkan sumber daya yang ada di kabupaten, karena ini bagian dari asset based yang telah menjadi komitmen kita bersama untuk mengembangkannya. 

Saya harapkan, untuk WaKILl dan FIK KSM, jadi sekadar teknis, ACCESS sudah memberikan langkah-langkah, jadi saya kira lebih baik diproses lebih cepat. Saya juga mendengar dari mitra strategisnya sudah konek, jadi ACCESS akan mendukung. ACCESS akan memperkuat metodologi.

“Jadi saya kira,  lebih detailnya, maka kedua LSM ini (WaKIL Gowa dan FIK KSM Takalar) sudah jelas,” sambungnya.  “Kenapa ingin kami lebih cepat, untuk Sulsel, sejak 1 April sudah harus jalan. Tetapi semuanya itu tergantung dari FIK dan WaKIL, dimana ACCESS akan membantu, termasuk menyediakan tim ahli,” tegasna.

Sartono memperkuat progress programnya dengan memberi contoh khusus kepada Jeneponto. “Jeneponto sudah prosentasi di Bappenas dan Menkokesra. Bahwa pengalaman yang telah dirumuskan oleh ACCESS akhirnya dapat diaplikasikan atau replikasi oleh pemerintah, termasuk pemerintah pusat, sehingga nantinya dapat diperluas di tempat lain,” kuncinya. (s.darampa)

Senin, 01 Maret 2010

Dari Lokakarya Shearing PAK Gowa – ACCESS

Sungguminasa, (KBSC)
Akhirnya sampailah disesi akhir pada etape pertama rencana program ACCESS AusAid kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Gowa, dengan digelarnya lokakarya shearing hasil-hasil penjajakan agenda kabupaten (PAK) Gowa yang berlangsung di Gedung Bappeda, Sungguminasa, pekan lalu.

Lokakarya shearing ini bertujuan untuk mengetahui hasil-hasil penjajakan yang telah dilaksanakan oleh calon mitra ACCESS, yang terdiri atas enam lembaga (LSM) di daerah ini, diantaranya adalah Yayasan WaKIL, YKM Gowata, Lembaga Bumi Indonesia, Yayasan Peduli Lingkungan, Yayasan Baruga Cipta, dan The Gowa Centre.

“Masing-masing LSM mengusung isu yang berbeda, tetapi bukan berarti bahwa hanya LSM tertentu (seperti diatas ini, red), yang berhak mengagendakan isu tersebut. Jadi janganlah kita bersikap ego, contohnya bahwa hanya WaKIL saja yang berhak mengusung isu perencanaan partisipatif sementara yang lain tidak, atau Gowa Centre saja yang berhak mengusung isu pendidikan sementara LSM lain tidak punya hak,” jelas Muhammad Nur Fajri, ketika memberikan kata sambutan mewakili ACCESS AusAid Sulawesi Selatan.

Menurutnya, karena keenam agenda ini, perencanaan partisipatif, pemberdayaan ekonomi bagi perempuan miskin, pengelolaan sumber daya air, pelayanan hukum bagi public, kesehatan dan pelayanan public, dan agenda pendidikan, adalah tanggungjawab bersama.

“Kenapa menjadi tanggungjawab bersama, termasuk bagi SKPD, karena sebelum agenda ini dilahirkan terlebih dahulu lahir kesepakatan antara pihak ACCESS dengan Pemerintah Kabupaten Gowa. Jadi setelah MoU itu, maka kemudian rencana implementasinya adalah dilakukan oleh LSM pengusul dengan penguatan dari pihak masing-masing mitra strategis (SKPD),” lanjutnya.

Nah, pada kesempatan ini, maka akan dibicarakan lebih detail, tentang strategi masing-masing lembaga dan mitra strategisnya untuk membuat desaign rencana aksinya, disamping untuk melaporkan hasil dari masing-masing penjajakan yang telah dilakukan sebulan lamanya.

Nur Fajri juga meminta kepada masing-masing lembaga calon mitra langsung ACCESS, agar mereka mampu melaksanakan nilai-nilai GIS (gender inclusive social), karena GIS ini adalah utama yang harus diarusutamakan pada setiap isu atau agenda yang dijalankan oleh masing-masing mitra.

Selain GSI, juga yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menerapkan prinsip-prinsip TKLD (tata kelola local demokratik) yang betul-betul mencerminkan akuntablitas, transparansi dan demokrasi. Nah untuk mencapai itu, maka seharusnya adalah organisasi pelaksana program (LSM) yang lebih dahulu menerapkan kedua nilai tersebut.

“Harus ada perubahan perilaku organisasi pelaksana yang dapat diukur dan dilihat, sehingga ketika dalam implementasi programnya, dimana kelompok sasarannya (binaannya) yang diharapkan berobah kea rah yang lebih baik tetapi didahului oleh perubahan positif dari lembaga yang bersangkutan,” kunci Nur Fajri.

Koalisi LSM-Pemkab
Trend baru dunia LSM adalah ketika mendorong sebuah program, atau agenda yang selama ini hanya bersama-sama dengan masyarakat, maka di Kabupaten Gowa adalah sebuah keharusan untuk secara bersama-sama dengan pemerintah daerah di dalam mengimplementasikan agenda tersebut.

“Untuk di Kabupaten Gowa, tidak ada kerja-kerja LSM tanpa melibatkan pemerintah, utamanya bagi SKPD-SKPD yang berkaitan dengan isu atau agenda yang akan dijalankan. Dengan koalisi LSM-Pemkab, maka sinergitas dengan berbasis kekuatan, maka agenda tersebut akan dicapai lebih mudah,” kata Kaharuddin Muji, Direktur Eksektuif WaKIL disela-sela berlangsungnya lokakarya.

Menurut Kaharuddin Muji, komiten atau co-shearing program antara WaKIL dan Pemkab Gowa telah berjalan 3 tahunan. “Kemudian dalam perjalanannya, ACCESS mewajibkan kerjasama dengan Pemkab dengan LSM local, maka kita tinggal melanjutkan yang sudah ada. Dan besar kemungkinan penganggaran tahun-tahun mendatang, bukan hanya co-shearing program, tapi siapa tahu sudah memasuki tahap yang lebih lanjut, yakni sudah co-shearing dana,” harapnya. (ririn)

Selasa, 16 Februari 2010

Lokakarya Hasil PAK - WaKIL

Sungguminasa (KBSC)
Penyusunan agenda kabupaten (PAK) Gowa untuk perencanaan partisipatif oleh calon mitra langsung ACCESS dari Yayasan Wahana Kesehatan dan Lingkungan Lestari (WaKIL) diwujudkan dalam lokakarya PAK di Aula Kantor Bappeda Kabupaten Gowa, Kota Sungguminasa, Selasa (9/1) kemarin.

Dra.Hj.Ratna Arasy yang mewakili Koordinator Propinsi ACCESS-AusAID mengatakan, kegiatan yang difasilitasi WaKIL ini adalah bagaimana keterlibatan atau partisipasi penuh warga dalam setiap upaya proses-proses pembangunan di daerah ini.

“Ini bukan program WaKIL, tapi ini adalah program kita semua, utamanya bagi masyarakat penerima dampak. WaKIL hanya dalam posisi sebagai fasilitasi,” kata Ratna Arasy. Ia menambahkan, WaKIL telah melakakukan beberapa tahapan dalam penjajakan, dimana aksi penjajakan ini adalah langkah awal untuk bermitra dengan ACCESS, tapi sampai saat ini belum ada kemitraan (MoU) antara ACCESS dengan WaKIL

Disisi lain, menurut Hj Ratna, bagi ACCESS sangat mengingingkan keterlibatan perempuan dan kaum miskin, serta warga terpinggirkan. Karena nilai-nilai yang akan diperjuangkan ACCESS dalam phase II lebih pada pendekatan GSI (gender social inclusive).

Karena dalam perjalanan programnya ACCESS, utamanya pada phase I, kelihatannya perempuan sangat mampu, cuma memang selama ini ruang-ruangnya masih cenderung terbatasi , olehnya itu maka pada phase II, ACCESS lebih cenderung mendorong perempuan, kaum miskin dan terpinggirkan sebagai penerima dampak utama program.


Lanjutannya, adalah lokakarya di tingkat kabupaten, di Gowa ada 6 mitra ACCESS. Kenapa ada 6 calon mitra ACCESS, katanya, karena ke-6 ini adalah hasil PAK Gowa. Diantara ke 6 issu itu, salah satu diantaranya adalah tata kelola local democratic (TKLD), dan agenda inilah yang kemudian ditarik dalam agenda kawan-kawan.

“Jadi sekali lagi, kami atas nama pelaksana program ACCESS di Sulsel mengucapkan banyak terima kasih kepada pemerintah Kabupaten Gowa atas fasilitasi dan kebijakannya sehingga program ACCESS dapat diterima di daerah ini,” kunci Ratna Arasy yang mewakili Sartono (Koordinator Propinsi Sulsel ACCESS).

Sementara itu, Ketua Bappeda Gowa, H.Baharuddin Matting menambahkan,  mendengar penurutan Wakil dan ACCESS Sulsel, pihak tidak ingin berbicara tentang teori, karena terlalu banyak teori pemberdayaan, tapi baginya, ia lebih ingin melihat fakta di masyararakat dan perangkat pemerintahan, dan fakta itu dapat ditemukan di ACCESS dan WaKIL

“Saya tertarik karena ACCESS ini tidak ada hentinya kegiatan pemberdayaan, apalagi kali ini rencananya bermitra dengan WaKIL, sementara WaKIL sendiri kita sudah yakin sudah bertahun-tahun bekerja pada aspek pemberdayaan di masyarakat desa,” katanya.

Dia mengatakan, Pemerintah Kabupaten Gowa melalui Bappeda, menyatakan siap bekerja bersama-sama di dalam pemberdayaan masyarakat desa, termasuk didalam pengelolaan pemerintahan desa, seperti menggagas perencanaan secara partipatif.
Menurutnya, selama bertahun-tahun proses-proses perencanaan di desa tidak berjalan dengan baik. Banyak kasus-kasus penyusunan rencana pembangunan di desa, seperti musrembang desa dan kecamatan hanya disusun oleh aparat desa, atau hanya kepala desa, dengan cara mengatasnamakan atas usulan dari warga.

“Agenda-agenda pembangunan desa melalui hasil-hasil musrembang itu hanya isi kepalanya kepala desa, dan ketika kades ditanya mana daftar hasil musrembang, sang kades kebingungan menjawab atau memperlihatkan dafta isian prioritas usulan rencana pembangunannya, karena memang faktanya tidak ada daftar isian itu,” tegasnya.

“Malah yang membuat saya heran, kenapa ada anggota DPRD yang memasukkan agenda-agenda pembangunan di desa, kenapa ada anggota DPRD yang memasukkan proyek atau program dari APBD, padahal semestinya kerja-kerja DPRD hanyalah pembahasan kebijakan, misalnya pengesahan atau hanya sebatas legislasi,” katanya.

Yang lebih mengherankan lagi, kenapa ada kontraktor yang merasa dia mengusulkan atau memasukkan agenda-agenda pembangunan di desa. “Kalau para kontraktor sudah berani mengatakan bahwa dia yang memasukkan agenda proyek di APBD, maka dimana posisi dan peran Bappeda sebagai institusi perencana,” tegasnya.   

Tapi ketika pihaknya sudah memegang Bappeda, maka proses perencanaan sudah harus dirancang dari bawah, harus berdasarkan hasil-hasil rapat dari dusun, kemudian desa lalu ke kecamatan, yang kemudian ditingkat kabupaten dirangkum oleh Bappeda.

 Jadi saat ini tidak ada lagi pihak-pihak yang mengatasnamakan bahwa pihaknya yang membuat agenda-agenda pembangunan yang kemudian disahkan dalam APBD. Malah saat ini pula, anggota DRPD dari daerah pemilihan kecamatan tertentu, harus ikut hadir dalam musyawarah musrembang.

Sehingga ketika pembahasan hasil-hasil musrembang di DPRD, maka sang anggota DPRD tersebut sudah jelas dan pahami dari cerita latarbelakang program yang diusulkan, sehingga usulan yang disahkan olehDPRD itu bukan daftar keinginan kelompok-kelompok orang tertentu, tetapi memang merupakan kebutuhan bersama oleh masyarakat atau komunitas yang mengusulkannya.

Dilain pihak, Direktur WaKIL, Kaharuddin Muji menambahkan, harapan dari kawan-kawan di WaKIL adalah bagaimana inisiatif  perencanaan partisipatif dengan menggunakan metode atau tols outcome mapping dan CLAPP (community led action planning proses) ini dapat diterapkan pada proses-proses penguatan kapasitas di masyarakat.

“Kami telah mempersiapkan beberap prasyarat pelaksanaan program perencanaan partisipatif ini, diantaranya kesiapan tenaga fasilitator di 18 kecamatan,” tegasnya. Ia menambahkan, dari 18 fasilitator ini terdapat 10 orang adalah fasilitator perempuan, selebihnya (8) orang adalah laki-laki.

Langkah ini adalah wujud keseriusan WaKIL dalam implementasi GSI dan TKLD dalam menjalankan program ini di Kabupaten. (s.darampa)

Pelatihan Outcome Mapping Gowa - Takalar

Makassar, (KBSC)
Setelah ACCESS-AusAid melakukan implementasi program di Kabupaten Bantaeng dan Jeneponto, maka kini ACCESS akan melebarkan programnya di dua kabupaten tambahan, yakni Kabupaten Gowa dan Takalar Sulawesi Selatan.

Sebelum implementasi program beberapa tahapan yang harus dilalui oleh calon mitra langsung ACCESS diantaranya adalah orientasi outcome mapping. OM ini adalah salah satu metode learning bagi masyarakat atau komunitas.

Lanjutan training OM ini adalah penjajakan, dan bagi LSM atau calon mitra langsung ACCESS di dua kabupaten tersebut diberi waktu sekitar satu bulan, selama Januari 2010, untuk melakukan penjajakan, atau training need assessment sesuai isu atau tematik yang diusung oleh 11 LSM dari dua kabupaten tersebut.

Koordinator Propinsi (Koordprop) ACCESS Sulawesi Selatan, Sartono, yang akrab dipanggil Pak De, mengungkapkan, orientasi OM ini adalah keharusan bagi calon-calon mitra ACCESS. Karena tools ini memuat berbagai metodologi yang berorientasi partisipatif.

“ACCESS telah mensyaratkan GSI (gender social inclusive) dan TKLD (tata kelola local demokratif) sebagai prinsip-prinsip dalam mendorong berbagai isu-isu program di masyarakat. Misalnya setip proses yang dilaksanakan secara kuantitas harus meanstreaming gender 50 : 50,” kata Pak De.

Menurutnya, 50 : 50 (perbandingan prosentase 50 persen perempuan dan 50 persen laki-laki) adalah upaya nyata untuk mendorong secara aktiv perempuan-perempuan dalam berbagai profesi dan level ikut terlibat secara langsung.

Tetapi yang lebih penting dari prosentase 50 : 50, adalah bagaimana perempuan, orang-orang miskin dan kaum terpinggirkan, merupakan actor utama dalam setiap proses atau aktivitas yang berjalan. “Jadi intinya bukan saja mereka terlibat secara fisik, tetapi jauh lebih diimpikan adalah terjadi perubahan perilaku positif bagi perempuan, orang-orang miskin dan kelompok terpinggirkan,”  ungkapnya.

Diakuinya, selama ini, perempuan diposisikan sekadar pelengkap dari setiap isu-isu strategi dan perencanaan-perencanaan pembangunan yang dilaksanakan.  “Jadi melalui program ini, maka ACCESS memiliki tanggungjawab moral untuk pemberdayaan perempuan lebih nyata,”  sambungnya.

ACCESS – AusAID di Sulsel diperkuat sejumlah fasilitator, selain Sartono, Juju, Ratna Arasy, Sari,  dan beberapa personil admin.

Panakaing, Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Air

Panaikang (KBSC)
Panaikang adalah pedusunan yang terletak diatas ketinggian jazirah Bawakaraeng dan Lompobattang.  Disamping kanan puncaknya, adalah muara daerah aliran sungai Jeneberang, dan disisi kirinya adalah anak sungai Manappa. 

Komunitas Panaikang yang dipimpin oleh Kepala Lingkungan Sulaeman menceritakan, Panakaing dapat diartikan adalah tempat untuk dinaiki, atau disebut tempat yang ketinggian yang dapat dicapai dengan pendakian.

Pedusunan ini dihuni pertama kali oleh penduduk pada tahun awal 1900-an. Sebelumnya. para nenek moyang orang-orang Panaikang mendiami lembah yang dinamai Parangkeke. Parangkeke dapat diartikan sebuah lembah yang terdiri atas padang rumput, dengan dikeliling tebing gunung. Arti harifiahnya yaitu digali.

Parangkeke yang terdiri atas padang rumput dijadikan sebagai tempat pengembalaan hewan ternak oleh penduduk setempat. Entah pada tahun berapa, tiba-tiba Parangkeke dijadikan sebagai tempat pemukiman atau kampung. Dari sinilah kemudian para penduduk kemudian naik ke Panaikang, yang selanjutnya dijadikan tempat tinggal sampai sekarang.

Masih menurut Sulaeman, pada tahun 1965, Kampung ini ditinggalkan penduduk, karena terjadi pemberontakan PKI, dimana orang-orang PKI itu membakar rumah-rumah penduduk sampai ludes. Penduduk mengungsi ke Malino. Namun tidak cukup setahun mengungsi, atau menyingkir sementara, mereka kembali ke Panaikang dengan membangun kembali kampung mereka, awalnya terpaksa membangun rumah-rumah penduduk dengan tiang dan dinding dari bambu.

Padang waktu itu, untuk mengatur tata pemerintahan lokal di Panaikang, maka orang tua Sulaeman ditunjuk sebagai ketua Sariang. Sariang dapat diartikan sebagai Ketua RT. Kewenangan Sariang ini diperluas menjadi kampung sehingga dia dipanggil sebagai kepala kampung.

Sesudah itu, kemudian digantikan oleh anaknya, saudara kandung tertua dari Sulaeman, dan baru pada tahun 1978, barulah Sulaeman menjabat sebagai kepala lingkungan menggantikan kakaknya. Lingkungan Panaikang membawahi dua rukun warga, yaitu RK Pattiro dan RK Panaikang.

Selama memimpin (Kepala) Lingkungan, Sulaeman yang lebih akrab dipanggil Pa’li itu telah melakukan sejumlah program dan pembentukan kelompok, diantaranya :

1. Kelompok Komunitas Sabo Panaikang DAS Jeneberang
2. Kelompok Tani Hutan Lestari Panaikang
3. Kelompok Julu Ero

Kelompok Komunitas Sabo Panaikang
Kelompok  ini khusus menangani program warning system. Program ini adalah peringatan bencana dini, seperti mengamati pergerakan tanah longsor yang ada di Lengkese. Jika tanah ini bergerak maka dengan otomatis, oleh petugas jaga posko, langsung memberikan apa-apa, biasanya menggunakan katto-katto atau menggunakan HT (handy talky) kepada posko-posko di bawahnya, atau kepada masyarakat yang ada dibantaran sungai agar waspada terhadap pergerakan longsor ini.

Program ini sangat efektif untuk memberi peringatan kepada masyarakat, agar menghindari sungai jika sewaktu-waktu tanah / longsor yang bergerak ke bawah mengikuti arus sungai. Program ini didampingi oleh Yayasan WaKIL dengan bantuan pendanaan dari JICA.

Kelompok Hutan Lestari Panaikang
Kelompok ini membina sedikitnya 6 sub kelompok yang lebih kecil, yaitu Parangkulo, Bangkeng Sijang, Tobanda, Batumete, Bontotene dan satu kelompok lagi yang terlupa namanya.
Kelompok ini telah melakukan reboisasi atau menghijauan di Ramma. Kawasan Ramma awal mulanya hamparan padang rumput, karena memang kawasan ini areal pengembalaan, atau pelepasan hewan-hewan ternak masyarakat seusai membajak sawah.

Tapi karena  desakan untuk penghijauan, maka Ramma dijadikan lokasi penanaman berbagai jenis tanaman kayu, seperti kayu putih, balang jawa. Tanaman ini sudah berumur sekitar 6 tahun, dengan prosentase pertumbuhan sampai 80 persen. Hal ini terjadi karena kawasan ini dijaga oleh seorang pemantau hutan yang setiap harinya menjaga ekosistem hutan tersebut.

Salah satu tugas dari pemantau hutan Ramma adalah menjaga kayu yang baru ditanam ini dari gangguan hewan ternak, sapi, dan memperbaiki atau merawat tanaman ini jika terinjak sapi, dll. Program ini oleh Dinas Kehutanan.

Kemudian setahun yang lalu, yakni 2008, ada program baru dari JICA – Jepang, sebanyak 20.000 bibit Akasia ditanam di lokasi seluas 45 hektar. Namun sayang, program ini dianggap gagal, dengan beberapa alasan : (1) tanaman akasia tetap tumbuh tapi tidak bisa menjadi besar, karena setiap pucuk selalu dimakan hewan ternak, (2) tanaman akasia ini tidak berdampak kepada masyarakat, utamanya dampak ekonomi, karena pada waktu pengusulan, masyarakat atau kelompok minta tanaman kehutanan tapi dapat dinikmati hasilnya oleh masyarakat, misalnya tanaman kemiri.  

Selain itu, kelompok tani juga tengah mempersiapkan rehablitasi hutan di Kawasan Talung, dengan luas 100 hektar. Dengan 6 sub kelompok, atau kelompok kecil ini, maka Talung ke depan dapat dijadikan areal kawasan hutan rakyat.

100 hektar ini diprioritaskan tanaman kehutanan sebesar 70 persen, sedangkan 30 persen sisinya adalah tanaman perkebunan jangka panjang, seperti markisa, kakao dll.  Sebelumnya, Talung juga telah menjadi lokasi Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan (GNRHL) sebanyak 40.000 pohon, namun gagal semua. 

Kelompok Tani Julu Ero
Kelompok tani ini beranggotakan 25 orang, dengan tujuan yakni agroforestry, yaitu mengutamakan tanaman-tanaman perkebunan, atau tanaman kehutanan tapi menghasilkan buah. Misalnya, markisa, kopi, cengkeh, atau tanaman perdu yakni rumput gajah untuk pakan hewan ternak para petani.

Rata-rata setiap anggota kelompok memiliki luas lahan antara 0,5 – 1 hektar. Tanaman ini sudah tumbuh diatas bekas longsoran dengan umur sekitar satu tahun. Menurut keterangan petani, bahwa luas lahan yang tertimbun longsor yang masuk dalam wilayah Lingkungan Panaikang adalah , sawah 17 hektar, kebun 30 hektar, dimana longsor ini juga telah menelan sekitar 52 ekor sapi milik masyarakat Panaikang.

Demikianlah kondisi kehidupan sehari-hari komunitas Panaikang. Komunitas yang setiap harinya hidup diketinggian dengan hawa pegunungan yang mencekam. Rumah-rumah penduduk berselimut kabut, dengan warganya sehari-hari menoropong sungai, sawah-sawah dan perkebunan mereka ratusan meter dari ketinggian. Tiada hari tanpa memandang bumi. (teks : adi, foto-foto : sc publishing)

Limbua, Sekolah Rakyat Organic Farming

Sunggimnasa, (KBSC)
Komunitas Sabo Limbua terletak di Desa Salu Toa, Kecamatan Parigi, yang terletak di Bantaran DAS Jeneberang. Jumlah anggota kelompok ini adalah sekitar 80 orang, atau sebanyak 45 kepala keluarga atau rumah. Di Kampung ini setiap rumah hanya diisi oleh satu kepala keluarga, kecuali bagi orang-orang tua mereka, misalnya nenek atau kakeknya, sehingga tidak dapat dihitung sebagai satu kepala keluarga.

Lingkungan mereka yang terletak di pinggiran sungai, luas perkebunan mereka sekitar 2 Km panjangnya yang merupakan tingkat kemiringan nyaris tegak, sementara luas persawahan mereka sekitar 150 hektar, yang membujur dari timur ke barat.

Anggota kelompok tani ini mengandalkan hidupnya dari pertanian, sawah lahan basah, dengan model irigasi tradisional. Artinya, sistem irigasinya yakni dari pembuatan saluran oleh masyarakat sendiri dengan cara menggali pinggiran sungai Jeneberang. Selokan buatan yang selalu berobah-obah setiap kali terjadi banjir ini, dibuat berdasarkan kelender bertani mereka, bahkan ada ritual-ritual sebelum mereka mengerjakan persawahannya.

Selain kebun dan sawah, mereka juga mengembangkan sistem pertanian, yakni rata-rata setiap kepala keluarga memiliki minimal 2 sampai 7 ekor sapi, dan kambing yang merupakan hak kelola kelompok sebanyak 10 ekor. Hewan-hewan ternak ini juga mengandalkan air minumnya langsung dari sungai Jeneberang.

Menurut Sekretaris Kelompok, Bapak Bakri, selama memegang pengurus kelompok, ia telah melakukan pemetaan bagi kampung itu, termasuk studi PRA, sehingga kelompok sudah memilik data-data kampung seperti yang disebut diatas.

“Dalam memanfaatkan air sungai Jeneberang, kami betul-betul swadaya, dulu ada keinganan dari pihak kontraktor pertambangan untuk membantu kampung kami, tapi nyatanya sampai keluar dari penambangan galian C yang berupa pasir dan batu tidak pernah merealisasikan janjinya, sehingga kami menutup setiap upaya atau rencana tambang,” jelas Bakri.

Ia menambahkan, didalam memanfaatkan langsung air DAS Jeneberang dengan cara swakelola, maka masyarakat dengan arahan kelompok terlebih dahulu melakukan ritual-ritual, seperti :

Ammua Ulu Salungan : Sebelum mengerjakan sawah, terlebih dahulu mereka bergotong royong mencari sudut-sudut pinggiran sungai yang cocok untuk digalikan saluran sehingga air ini dapat masuk ke persawahan mereka. Terkadang setiap tahunnya panjang-pendeknya saluran yang dibuat tergantung dari posisi pinggiran sungai dengan volume air yang tinggi. Karena irigasi ini masih sifatnya swakelola, maka masyarakat setiap tahunnya selalu memperbaikinya, atau membuatnya yang baru, karena setiap saat saluran itu hilang akibat disapuh banjir longsoran lumpur dan batu. 

Ajjuru-juru : Yaitu upacara ritual dilakukan ketika padi mulai memperlihatkan buah, batang-batang padi mulai hamil

Apparimbua : Yaitu ketika petani memulai hari pertamanya membajak. Semua petani di Kampung Limbua membajak sawahnya dengan menggunakan sapi secara gotong royong. Mereka dilarang menggunakan traktor atau alat bajak canggih lainnya.

Pesta Panen : Yaitu dilakukan setelah selesai mengambil padinya di sawah, artinya pesta ini dilakukan ketika tidak ada lagi batang-batang padi yang berdiri di sawah.

Masyarakat masih mempertahankan beberapa padi lokal, seperti parelompoa atau pare 8, pare pulu’ (padi ini ada hitam dan putih). Cirinya, batang padi lebih tinggi dari ‘pada modern’, dan ketika dipanen masih menggunakan anai-anai, dan setelah tiba di rumah sengaja di simpan dalam waktu yang lama. Ketika dibutuhkan, padi ini ditumbuk dengan alu / lesung, mereka sengaja tidak mau membawanya ke pabrik padi, karena dinilai tidak enak dimakan.

Ketika dimasak padi ini harum dan gurih, kenyal, Harganya pun di pasar cukup tinggi di pasar lokal, yaitu :

Parelompoa        : Rp 4.500 perliter
Beras biasa / pertanian    : Rp 3.000 perliter.

Juga keistimewaan padi katto ini (ketika dipanen pakai anai-anai), bukan di dros (cara panen modern sekarang), sehingga nampak berbedaan ketika sudah dimasak (dalam panji) :

Ketika dimasak parelompa        : 1 liter
Berbanding padi biasa ketika dimasak    : 1,5 liter

Selain dengan sistem pertanian yang masih tradisional, masyarakat Limbua juga sudah mulai kembali menggunakan pupuk kompos. Saat ini melalui Yayasan WaKIL, mereka mendirikan pabrik pupuk kompos dengan bahan baku dari batang jerami, sehingga musim-musim sawah mendatang sudah mulai menggunakan pupuk buatan sendiri ini. Dan berdasarkan hasil uji coba, hasil panen mereka tidak berbeda nilai produksinya dengan menggunakan pupuk anorganik (buatau pabrikan besar) dengan pupuk kompos, sehingga lambat laun mereka sudah mulai menerapkan pertanian organik.

Disamping itu, masyarakat atau kelompok juga tengah merencanakan budidaya belut, yang dilakukan selama ini baru pada sistem mina padi, yaitu memilihara ikan (ikan emas) di areal persawahan mereka ketika padi mulai tumbuh dan dipanen ikan itu sebelum panen padi. Namun untuk bubidaya belut, baru pada tahap percobaan, karena mereka belum mengerti betul sistem budidayanya, utamanya pasarnya.

Tetapi yang mengkhawatirkan kelompok ini adalah ancaman banjir lumpur dan batu yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan persawahan mereka. Disamping itu, mereka belum memiliki sistem saluran irigasi yang permanen, karena biaya saluran ini diluar jangkauan pendapatan petani, karena membutuhkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. (teks : s.darampa, foto-foto :SCPublishing)