Rabu, 13 Oktober 2010

Bila Direktur Ketemu Dalam Satu Forum (3)

Makassar, (KBSC)
Sampai sejauh 2 malam satu hari pertemuan, atau katakanlah ketika memasuki malam ke-2 di Hotel Grand Wisata, maka capaian yang paling kuat atau paling menonjol adalah revleksi dari “training women leadhership”.

Pasalnya, ketika Mbak Titik dari Gita Pertiwi Solo menfasilitasi forum ini, dengan cara brainstorming oleh masing-masing peserta dari 4 kabupaten, maka yang pertama kali buka suara adalah salah satu mitra ACCESS dari Kabupaten Takalar, --sekedar informasi kawan-kawan Takalar memang dinilai sangat kuat progress yang dicapainya pada setiap bulan.

Mitra ini melaporkan bahwa “sekedar Mbak Titik ketahui, bahwa training yang difasilitasi dulu Mbak Titik, maka kita di Kabupaten Takalar paling berhasil. Kenapa, karena baru satu bulan lebih, katakanlah belum cukup 2 bulan lepas dari training women leadhership, maka sudah lahir seorang pemimpin perempuan, yaitu seorang camat diangkat atau baru saja dilantik waktu itu adalah dari perempuan. Ini menurut saya luar biasa,” kata kawan kita dengan semangat ‘45nya.

Forum pertemuan langsung sunyi senyap, kayak kuburan, sunyi merinding. “Hebat betul kawan-kawan Takalar, kalau dalam sebulan sudah mampu melahirkan seorang pemimpin perempuan sekaliber camat, bagaimana kalau sudah berjalan setahun atau 12 bulan, berarti dalam masa itu, minimal sudah ada 12 bakal pemimpin perempuan yang siap memangku jabatan formal,” kata kawan lain terkagum-kagum.

Di tengah kekaguman bercampur tawadhu, tiba-tiba ada seorang kawan nyerocos, kayaknya  POnya ACCESS, --(maaf, jangan sampai pencairan dana lembagaku dipending gara-gara menulis namanya, he he. Dia memporak-porandakan kesunyian forum. “Tunggu dulu kawan, coba chek ulang, betulkah karena hanya sebuah pelatihan yang waktunya hanya 4 – 6 hari, sudah mampu melahirkan seorang kader-kader pemimpin perempuan, apalagi sekaliber camat,” tanyanya.

Maka lagi-lagi gemparlah kembali forum pertemuan itu. “Oh ya, jangan sampai kita terlalu jauh meneropong capaian dari training WL. Jadi seolah-olah apa yang mau dicapai adalah harus jadi pemimpin structural, harus ada jadi camat, ada yang jadi kades, atau ada yang jadi istri bupati, baru dapat dikatakan training ini berhasil,” kataku merenung.

Seperti juga yang diungkapkan peserta lain, betulkah kita serius untuk memproduk bakal-bakal pemimpin perempuan, stuktur atau fungsional. Betulkah kita ikhlas bahwa potensi-potensi (SDM) perempuan sudah siap di daerah-daerah, baik dari segi stigma social, fisik, utamanya kemampuan knowledge, atau jangan sampai kita hanya terbawa mimpi orgasme, mimpi enak tapi menakutkan, karena terciptanya perlawanan social baik dari dalam rumah tangga maupun pada lingkungan social yang lebih luas.

Ataukah pertanyaannya, apakah daya dukung social dan budayanya dimana para bakal pemimpin itu berassimulasi sudah memenuhi beberapa prasyarat ? Dan seperti yang dikatakan fasilitatornya, Mbak Titik, untuk mencapai kondisi yang diimpikan bersama, tentu tidak semudah membalik telapak tangan. “Harus betul-betul by desaign, harus dipersiapkan untuk jangka waktu yang sangat lama, karena arah perubahannya bukan pada fisik, tetapi lebih pada cara berpikir, dukungan budaya, dukungan social lingkungan, dan lainnya, serta yang  tak kalah pentingnya adalah dukungan dan kondisi social rumah tangga yang harus lebih kondusif lebih dulu.

Tetapi bukan berarti kalau hal itu belum kondusif, maka lokomotif perubahan tidak dapat digerakkan, karena memang ada kondisi phisio-sosio yang  betul-betul dalam keadaan laten, sehingga mempercepat perubahan itu akan susah dicapai kalau harus saling menunggu.

Intinya adalah energy yang dapat digerakkan, maka disitu arasnya yang harus difokuskan. “He he he, kelihatannya kita serius ya”. Kata-kata itu kembali menjadi faktor kekacuan berpikir dan kekacauan suara-suara sumbang pada forum ini.

“Kalau saya, teorinya sih iya, maunya sih perempuan, itu juga disepakati kawan-kawan. Tapi jujurkah kita malam ini, coba kawan-kawan direktur tengok kiri dan kanan, (maksudnya disamping duduk anda semua), berapa persenkah diantara 20 pimpinan lembaga yang hadir malam ini dimana direkturnya adalah perempuan. He he, maaf, saya salah ucap,” kata kawan di sebelahku.

Jadi fakta ini, katanya, jangan dinafikkan, begitu kita sangat antusias bicara seolah-seolah sudah sampai di langit yang ketujuh, tapi eh, tahu-tahu diri kita sendiri yang belum ikhlas.

“Maaf, saya tidak mengajak kawan-kawan direktur untuk diganti lho. Maaf, kita agaknya bergeser ke topic selanjutnya lagi, karena ini area sensitive, hi hi hi,” kata Mbak Titik. Di-iya-kan juga oleh Mbak Dewi.

Akhirnya dari segala macam sesorah itu, maka diputuskan secara bersama-sama bahwa memang ke depan, teman-teman mitra langsung ACCESS masih membutuhkan penguatan-penguatan pada issu-issu gender, women leadehersip dan sejenisnya.

Akhir kata dari Mbak Titik dan Mbak Dewi, bahwa dibutuhkan ruang-ruang waktu tersendiri untuk mendiskusikan kapan teman-teman menyiapkan diri, tentu dengan lembaganya, untuk peningkatan kapasitas pada tematik tersebut diatas.

“Kasihan juga ya Mbak Titik dan Mbak Dewi, jauh-jauh naik pesawat ke sini, hanya bicara 2 – 3 jam saja, dan besoknya langsung balik pulang lagi,” kata kawan berprihatin.

“Kasihan sih kasihan, tapi ini juga momen bagi kedua Mbak itu untuk cepat-cepat pulang ke RTnya masing-masing. Tujuannya, agar dia juga berdiskusi secepatnya di keluarganya, siapkah dia berdua untuk memberi ruang kepada lakinya,” kawan lain menimpali. Tapi he he he, maaf ini sekadar intermesso.


Bersambung,… yuk,… (sultan darampa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar