Jumat, 08 Juli 2011

Berjuang Demi Petani Tompoblu

Ada dua desa yang menjadi dampingan Yuniarti, ibu dua orang anak ini di Kecamatan Tompobulu, yaitu Desa Datara dan Desa Garing. Kalau di Datara, proses partisipatifnya justru baru tumbuh ketika program ini dilakukan, karena memang kondisi desa dan sistem pemerintahan desa. “Saya menjabat Kades kurang lebih 4 tahun yang lalu, dan saya ingat bahwa serah terima jabatan itu, karena Kades lama meninggal dunia, hanya saya menerima sebuah buku tamu, tidak ada data, apalagi data monografi, maka saya berupaya keras, dan sangat berterima kasih kalau program ini justru penguatan data baseda desa,” jawab Kades Garing.

Sedikit berbeda dengan Garing, Desa Datara justru telah sedikit berkembang, sistem budaya dan gotongroyongan tetap terus dilakukan, malah tanah atau sawah yang diperuntukkan bagi kebutuhan makanan / beras bagi pejabat desa sampai sekarang masih dilestarikan dan tetap dipertahankan menurut adat istiadat mereka.

Memang karena tipelogi Kades yang “sangat ditakuti” masyarakatnya menjadi nilai kekuatan tersendiri, warga berani berbicara langsung dengan warganya. Malah Yuniarti pernah mengalami kasus hukum bagi salah seorang warga lain, karena anaknya dianiaya oleh salah seorang warga yang cukup berkuasa, kemudian Yuniarti melaporkannya ke polisi dimana sebelumnya diajak untuk damai, minta maaf, tapi orang tersebut tidak mau minta maaf. Proses ini mendapat dukungan dari Kades, sebagai bentuk pembelajaran bagi warga desa lain, bahwa proses hukum harus ditegakkan oleh Kades tanpa pandang bulu, meski itu keluarga Kades sendiri.

Nilai belajarannya, adalah adanya sikap perubahan bagi warga desa, bahwa apabila mereka dianiaya, atau hak-haknya dilanggar, maka sikap Kades jelas, membela bagi mereka yang lemah. Ditengah penguatan Kades dan aparat desa kepada warganya, juga seiring tumbuhnya partisipasi perempuan, saat ini muncul organisasi-organisasi perempuan, dimana dulunya hanya ada istilah PKK, atau semacamnya, maka sekarang ini yang menjadi trend adalah perempuan, termasuk perempuan miskin itu membuat kelompok-kelompok pembuat kue tradisional, (hasil kue ini ikut dipamerkan pada Jambore Kader Perencanaan Penganggaran Paritsipasipatif yang dipusatkan di Desa Julubori minggu lalu), kelompok anyaman-anyaman, dan bagi pemuda, juga munculnya kelompok seni, yaitu pemuda elekton qasida.

Ide-ide partisipatif ini terus berlanjut, meski ACCESS tidak lagi memperkuat proses ini. Hal ini terjadi karena adanya kegiata-kegiatan dengan inisiatif warga desa, malah warga desa tetangga juga tengah minta difasilitasi, bahkan kecamatan tetangga, yaitu Kecamatan Biringbulu, juga meminta fasilitasi proses seperti ini.

Juga munculnya atau seringnya warga dan aparat desa datang ke rumah Yuniarti untuk konsultasi, untuk berdiskusi tentang perkembangan desanya, termasuk tentang inisiatif mereka didalam proses pengawalan pembangunan, maupun pada inisiatif kegiata-kegiatan praktis. Bahkan “hidupnya” kembali organisasi kelompok “sinoman”, sebuah kelompok masyarakat untuk melestarikan budaya-budaya setempat. Karena ini sudah kebutuhan bersama, karena budaya mereka, maka tentu mereka akan melestarikannya, dan semuanya itu ada termuat di dalam dokumen RPJMDes.

Bahkan yang lebih menjanjikan lagi, adanya dukungan penuh dari Kades untuk program partisipatif dan pengawalan ini mendapat dukungan pendanaan operasional dari alokasi dana desa (ADD). Jadi beberapa indikator keberlanjutan ini menjadi garansi agar aras perubahan terus berkembang, malah melintasi desa dan melintasi kecamatan.

Ke depan, terlepas masih banyak tantangan yang dihadapi, saya sangat berharap bahwa sinergitas antara warga dengan pemerintah desa tidak berhenti, tidak sekadar karena tuntutan program, tetapi sudah harus pada konteks budaya, karena budaya adalah alat perekat utama didalam menjamin keberlanjutan sebuah cita-cita dan visi ke depan. (sultan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar